Pages

Wednesday, February 04, 2015

Rama-rama dan Pak Bebek

Oleh Nora

INILAH apa yang terjadi. Segala pertemuan dan percakapan di atas ranjang berlangsung dalam senyap. Bersopan barangkali. Pak Bebek cuba bertahan serangan kesunyian, tapi jala-jala sunyi senantiasa membentang bagaikan cakerawala bergemuruh mendambakan puisi rindunya pada sang malam.

Dan kini tubuh Pak Bebek terkejang di atas ranjang. Dia mahu memulakan tidur panjang hingga mentari mencapai ubun-ubun langit. Seperjalanan tidur yang panjang dia tidak mahu sesiapa mengganggunya walaupun siang bolong.

Tapi sebelum mata Pak Bebek terpejam, sarang si kotel yang teebentang di sudut dinding kamarnya menyakitkan matanya. Si kotel entah berapa lama menganyam dan menyiratkan benang-benang dan jala-jalanya di dalam kamar itu. Diberikan hak kebebasan dan kemerdekaan yang mutlak kepada sang kotel menganyam, menjalin, menyirat dan menjala rumahnya dalam kamar Pak Bebek.

Dan terwujudlah sebuah rumah kotel yang tiap detik menganyam sarangnya bertambah besar dan melibarkan daerah otonominya.

"Ah, inilah seni," desas hati Pak Bebek.

Apabila matanya terngadah mencenung kotel dan sarangnya, sang kotel mundar mandir ke tengah ke tepi menelurkan benang bergetah yang mencuat dari duburnya. Dan begitu getol dan istiqamah membuhul jala rumahnya.

"Inilah seni," Pak Bebek menganggumi kerja kriatif sang kotel dalam kamarnya."

"Seniman yang arif mengenal seni ini."

Terkejang di atas ranjang dan bertelanjang dada dan dan pusat ke kaki dibungkus kain sarung. Itulah potret seorang insan yang bernama Pak Bebek yang memenjarakan dirinya di dalam kamarnya sepanjang siang.

Langsir berwarna hijau di kamar ikut berpegang tangan dengan pintu kamar, tidak mengizinkan sinar mentari menerobos masuk. Musim panas meletih dan melelahkan Pak Bebek. Kipas "Pro Power" adalah satu-satunya alat pendingin kamar itu.

Tetapi desas angin kadang-kadang tidak berdaya mengusir sang panas.

Siapa lagi yang jadi teman kesepian Pak Bebek dalam penjara itu? Koleksi rama-ramanya. Bingkai-bingkai cermin rama-rama yang melekat di dinding tembuk itulah teman-temannya yang berintraksi dengannya tiap senja ungu berkembang di kaki langit. Dan perbicaraan nostalgia rama-rama seperti tidak bisa jadi kendala antara insan dengan sang kotel dan rama-rama.

Tapi arifkah Pak Bebek dengan bahasa rama-rama? Makhluk rama-rama yang terkangkang dan terkejang dikurung oleh cermin berbingkai.

Rama-rama itu kaku. Sayapnya. Tubuhnya. Dibekukan oleh manusia. Dikakukan oleh insan yang tidak takutkan Allah dengan membubuh lebel nama rama-rama yang telah diawetkan.

Roh rama-rama telah terbang melayang bersemadi di bawah arasy, tapi jasadnya berkubur di dalam kotak kaca. Warna warni sayapnya saja yang dikagumi dan dihayati oleh manusia.

Itulah yang indah, yang seni, yang ganting, yang unik, sayap-sayapnya yang berwarna warni yang mendorong nafsu mazmumah manusia menangkap, membunuh dan menzalimi makhluk kecil yang rapuh ini semata-mata untuk memenuhi gelodak nafsu dan kesenimanan manusia.

Seniman bilang sayap-sayap rerama yang berwarna warni seperti bianglala mempunyai seni yang bernilai tinggi. Benarkah?

Tapi bagi Pak Bebek harga diri rama-rama dinilai dari segi dagang. Rama-rama diperdagangkan oleh Pak Bebek. Itulah yang pastinya. Hobinya menangkap rama-rama dan kemudian membunuhnya adalah hobinya.

Sejak bila Pak Bebek membuhul benang-benang cinta pada rama-rama ini? Scjak dia meniti jalanan sisa-sisa hidupnya sebagai seorang pensiunan. Di dalam kamar kerja dan tidurnya, ada setimbun koleksi buku-buku bergambar yang membicarakan dunia dan nostalgia rerama.

Bagaimana hendak menangkap rama-rama? Bagaimana hendak mengawetkan rama-rama. Apakah keseronokan mencintai rama-rama? Ada beberapa ribu warna warni di sayap rama-rama? Seluruhnya diceritakan dalam buku-buku karya pakar-pakar rerama dunia.

Demikian di dalam kamarnya Pak Bebek berselirat seribu warna yang dipancarkan dari sayap-sayap yang indah-indah itu. Sayap rama-rama itu seperti bianglala yang melintang di kaki langit selesai gerimis. Dan jahitan benang sang kotel kian melebar hari demi hari dalam kamarnya.

Villa Pak Bebek di puncak bukit Menyapu Awan, cuma disegarbugarkan oleh dua nafas tua iaitu Pak Bebek dan isterinya Bu Angun. Nafas segar putera dan puterinya? Anak-anaknya minggat berdikari. Dan puncak dari membentuk dan menjadikan anak-anaknya sebagai manusia berjaya, Bu Angun dikurniakan bintang tokoh ibu mithali.

Bu Angin juga seorang persara dari professionnya sebagai mantan guru besar. Pak Bebek? Seorang pensiunan juga mantan Adun. Jadi, dalam villa di atas bukit Menyapu Awan ini, bernafas dua orang manusia pensiunan yang sedang meniti musim peralihan usia.

Pak Bebek menyedari itu. Dan dia pun mengisi musim-musim tuanya dengan nafsu kegemarannya menangkap rama-rama.

Dua manusia pensiunan itu hidup sendiri-sendiri dengan hal-hal sendiri yang bersemi dan tumbuh mekar di balik tembuk rumah gadang di atas bukit.

Bu Angun mendekam saja di dalam kamarnya di tingkat atas. Dan berbicara dengan kesepian di dalam kamar dirinya. Apa yang dibuat Pak Bebek dalam kamarnya di tingkat bawah? Dia menyendiri bersama dunianya yang asing. Pak Bebek bersepi-sepi bersama koleksi rama-ramanya dan kotelnya yang sedang gawat menganyam sarang.

Demikian sepanjang siang bolong Pak Bebek berkubur di dalam kamar. Cuma sekerat malam saja mempertemukan Pak Bebek dengan Bu Angun. Dan kalau Pak Bebek tertidur di sofa ruang tamu kerana kecapekan menonton TV diseret arus waktu hingga kejauhan malam, Bu Angun selalu bersyukur.

Kenapa? Kedamaian hidup orang tua tidak tergugat. Bu Angun damai setenang malam di kamarnya. Begitu juga Pak Bebek. Keterasingan hidup sendiri-sendiri dan hal-hal sendiri, melahirkan sebuah kerenggangan yang memisahkan suami tua dan isteri tua.

Demikian entah mimpi apa, sore itu Bu Angun tiba-tiba menerobos saja masuk ke kamar Pak Bebek. Tubuh kering Bu Angun cuma dibungkus oleh kain sarung batik dari pusat ke bawah. Bahagian atas dibungkus selembar coli luntur. Kedua belah tangan Bu Angun mencekak pinggang dan matanya meliar melotot ke seluruh sudut kamar Pak Bebek.

Pak Bebek yang terbaring terlentang di ranjang dengan berkain sarung saja, memerhati Bu Angun dengan sepasang mata dingin yang bodoh.

Bu Angun tiba-tiba menemukan sebuah perasaan mendesak apabila bola matanya tertuding ke perim-perim gambar rama-rama yang mempamerkan seribu warna-warni kepak-kepaknya.

"Mengapa abang bunuh rama-rama ini?" Bu Angun tiba-tiba meleter.

"Bunuh?" terlonjak kekagitan Pak Bebek.

"Kejam!" kutukan Bu Angun.

"Siapa yang kejam?" tanya masa bodoh Bu Angun.

"Abang..." tuding telunjuk Bu Angun ke muka Pak Bebek yang melongo di atas ranjang seperti mata burung jampuk di terjah sinar siang.

"Ini bukan kejam. Ini pernyataan cintaku," kata Pak Bebek lalu bangkit dan duduk di birai katil.

"Apa dosa rama-rama ini abang bunuh?" tanya Bu Angun.

"Angun, mari duduk di atas ranjang ini dekat abang," mata kabur Pak Bebek menikam ke wajah kedut Bu Angun seperti merayu. Tangan Bu Angun dipegangnya.

"Dah tua-tua ni nak sembang apa lagi," Bu Angun tidak terngiur dengan daya bujukan Pak Bebek.

"Tentang seni rama-rama," kata Pak Bebek dan tangannya semakin kuat merentap tangan Bu Angun. Dan Bu Angun rebah di atas ranjang duduk di sebelah Pak Bebek.

"Macam sarang tikus," cemus Bu Augun bila matanya ditebarkan ke sekitar kamar Pak Bebek.

"Inilah bilik seni, Angun. Itu seni," tuding Pak Bebek pada potret-potret rama-rama di dinding, "Itu juga seni," tuding telunjuk Pak Bebek pada sarang si kotel. "Ya Allah, besarnya labah-labah," Bu Angun terjerit dan kepalanya terdongak ke langit-langit kamar.

"Sarang labah-labah tu juga satu seni," bayang-bayang kebanggaan menggebu-gebunya.

"Ini seni gila! Seni orang gila!" suara Bu Angun agak tegang, "Abang nak mati ke digigit labah-labah?" suara Bu Angun melengking.

"Mati?" Phk Bebek menyebut kalimat mati dengan sinis.

"Kesian rama-rama yang tidak berdosa itu. Nanti rama-rama masuk syurga, abang masuk neraka," Bu Angun matanya tertancap ke perim yang tersusun di dinding.

"Kesian?" ayat ini tidak membekas di hati Pak Bebek.

"Kesian rama-rama mati dibunuh manusia dan disalib dalam cermin itu. Zalim namanya," Bu Angun bertambah marah.

"Tapi kematian rama-rama memberi kepuasan nafsu seni seorang seniman. Lihat kepak-kepaknya berwarna warni macam pelangi. Itulah seni, Angun," kata Pak Bebek.

Tapi citarasa kemanusiaan Bu Angun tidak mahu menerima tanggapan Pak Bebek bahawa membunuh binatang-binatang yang tidak berdosa itu satu kerja seni.

Kemudian terbongkar satu rasa mual dari dalam kawah diri Bu Angun. Kemualan itu lantaran suasana kamar Pak Bebek dan mual bersama sekamar dengan manusia yang tidak berperi kemanusiaan walaupun dia suaminya.

"Angun, awak belum tua lagi. Cubalah berhias macam kepak rama-rama tu," kata Pak Bebek dan matanya tunak meneliti wajah Bu Angun yang telah diselaput bayang senja. Dan di kepalanya ada terselit jurai-jurai rambut putih.

Seolah-olah ada rasa kecapan gula pahit di hati Bu Angun. Gula pahit itu terasa jijik diucapkan oleh lidah orang tua seperti suaminya.

Dan dalam gua diri Pak Bebek dan Bu Angun tersembunyi tanda-tanda usia bermusim yang jauh lanjut. Apakah tanda-tandanya? Uban bertabur, mata kabur, pipi kendur, gigi gugur dan tunggu saja bila berangkat ke kubur. Bila?

"Ingat mati, bang. Abang bila nak sembahyang?" dan sebarang dengan pengucapan itu Bu Angun bungkas bangun dari ranjang dan berjalan sempoyongan keluar kamar.

"Angun! Angun!" Pak Bebek terkapai-kapai dari terpintal-pintal bagaikan orang kelemasan.

Demikian kayu cemeti ingat mati mencabuk Bu Angun seperti Pak Kusir kereta kuda mencabuk belakang kudanya. Pipi kendur ingat mati. Gigi-gigi yang gugur ingat mati. Uban bertabur di kepala ingat mati. Dan sebijak-bijak manusia ialah setiap detik mengingati mati.

Dan Bu Angun pun sedar dari tidur lena yang dibuai-buaikan oleh lirik lagu suniawi. Demikian setiap senja menjelang maghrib. Bu Angun memandu mobilnya meniti jalan ke masjid. Dalam beg bekas kain telekungnya bersemadi sebuah diari yang mencatatkan nama-nama masjid di sekitar ibukota yang menyediakan kuliah-kuliah fardhu ain dan sebaris nama-nama tuan guru mengajar ilmu tauhid, fiqah, tasawuf, hadis dan tafsir.

Dan kepulangan malam Bu Angun dari masjid dia sering menemukan wajah Pak Bebek yang terbenam dalam dakapan sofa menonton TV di ruang tamu. Dan umur tua Pak Bebek seolah-olah mahu dibereskan dengan menonton TV saja. Dan kadang-kadang Pak Bebek terkutal di sofa dengan ditemani TV yang menontonnya.

Dahi Bu Angun berkerut dan sekaligus menggeleng-gelengkan kepalanya. Betapa lalainya Bebek mengingati mati, bisik Bu Angun.

"Ingat mati, bang..." tegur Bu Angun.

"Angun, mari tenguk TV. Ceritanya bagus," kata Pak Bebek memberikan resfon.

Bu Angun berlalu ke tingkat atas. Dan Bu Angun pun jadi manusia malam yang basah lidahnya dengan berzikir dan bertasbih pada Allah dan insan malam yang menyuburkan detik-detik malam dengan sujud di tikar sembahyang dalam kamarnya.

Pagi itu berangkat lagi Pak Bebek dengan alat-alat menangkap rama-rama dan perbekalan makanan. Ke mana? Ke padang rama-rama. Ke samudera rama-rama. Dan berangkatlah penangkap rama-rama.

Sebuah panorama alam, selaut padang rumput yang bermandikan kehijauan, bertaburan kembang-kembang mekar dan pohon-pohon cemara, kemboja, puding, pohon raksamala dan bunga-bunga hutan yang subur hidupnya.

Dan padang rumput yang melaut ini dipenuhi sang rama-rama berterbangan gembira, bebas dan merdeka menciumi bunga-bunga demi bunga-bunga, kembang demi kembang, mekar dan rama-rama dan bunga-bunga saling berpadu cinta, saling bercengkerama, saling bercanda, saling beri memberi kasih sayang dan saling ucap mengucapkan puisi cinta.

Ah, betapa syahdu dan murni, betapa damai dan bening dan hening kehidupan makhluk ini. Tidak ada gangguan, tidak ada kekacauan, tidak ada krisis dan tidak ada pergeseran antara rama-rama dengan bunga-bunga.

Tetapi usia kedamaian, ketenangan dan keheningan itu tidak lama, tiba-tiba muncullah dari celah-celah pohon cemara sebarang lembaga manusia, memakai topi besar ala-Mexico, berperut buncit dan di wajahnya terkapuk kaca mata hitam yang menutup dua biji matanya dan di belakangnya terkapuk sebuah beg ambung.

"Oh, indahnya kalau aku jadi rama-rama tetapi sayang kepakku rapuh."

Manusia bercermin mata gelap, di tangannya tergenggam kejap batang tangguk jaring, terhendap-hendap kakinya menapak setapak demi setapak dan matanya tajam melihat kelompok rama-rama.

"Sup ... sup ... sup..." dia mengimbas-ngimbas penanggoknya.

Seekor dua rama-rama terjebak juga ke dalam jaring si pemburu.

"Jahanam manusia ini," kutuk hati sang penyair.

Apakah manusia ini tidak punya secebis rasa kemanusiaan? Bukankah rama-rama makhluk Allah juga? Membunuh serangga yang tidak berdosa berdosa besar. Manusia mana yang tidak perihatin menyaksikan perlakuan kezaliman dan kekejaman ini.

Sang pemburu kian galak mengejar rama-rama, seolah-olah tidak kenal ampun hendak menumpas seluruh makhluk rama-rama.

"Terbang rama-rama, terbang. Selamatkan nyawamu!" demikian seru sang penyair. Seumpulan rama-rama yang terjebak disemadikan dalam sangkar berjaring halus. Dan rama-rama itu bakal menemui nasibnya yang paling buruk, paling sakit, dan paling azab. Makhluk rama-rama itu akan ditusuk dengan jarum di kepaknya lalu dibiarkan menemut ajalnya.

"Tuan, apakah dosa rama-rama ini? Apakah kesalahan rama-rama ini? Tuan buru dia, tuan perangkap kemudian tuan bunuh, seksa dan azab dia," jerkah si penyair.

"Apa? Who are you?" agak tersentak sedikit Pak Bebek bila tiba-tiba dijerkah dari belakang.

Dan mata hitam menentang wajah si penyair seperti segumpal mendung hitam menyapu wajahnya. Dan Pak Bebek sudah arif bahawa ada manusia lain yang menonton kerja-kerja pemburuannya.

"Bagaimana kalau tuan jadi rama-rama. Dan rama-rama jadi tuan. Tuan dikejar, diburu oleh manusia dan kemudian disalib hidup-hidup?" tanya si penyair.

"I love butterfly. Saya peminat rama-rama. Ini hobi saya. Bukankah hobi seperti ini satu seni?' kata Pak Bebek mempertahankan egonya.

"Tuan adalah algojo. Pembunuh kebebasan, kemerdekaan, ketenangan dan demokrasi rama-rama," penyair melepaskan marahnya.

"Ah, jangan campur urusan saya," bentak marah Pak Bebek penjebak rama-rama.

"Tolonglah lepaskan rama-rama itu," rayu sang penyair.

"Tidak boleh. Ini hobi saya dan saya suka mengumpul rama-rama ini," Pak Bebek berkeras.

"Kalau perlu saya akan beli rama-rama tuan. Ambillah wang emas ini sebagai ganti ruginya," penyair masih berharap.

Pak Bebek agak tersentak. Dia menyambar wang itu secepat kilat. Dan di kejauhan sayup-sayup mengimbau-imbau kokok ayam yang menandakan ada desa berhampiran padang rumput rama-rama ini.

Pak Bebek jadi tamu maghrib bila keretanya berlabuh di villanya. Bersiul-siul menapak masuk ke dalam rumah.

"Angun! Angun!" suaranya menggamit Bu Angun.

Dia ingin memberitahu isterinya yang rama-rama yang ditangkapnya mendapat bayaran mahal. Tapi gamitannya tanpa suara sahutan dari Bu Angun.

Itu, tidak mengapa. Bahkan dia agak gembira. Nanti dia boleh memeranjatkan Bu Angun dengan rahsia yang disimpannya itu.

"Ha, ha, ha .. ! Bu Angun, Bu Angun ......"

Suara yang agak keras itu melantun ke telinga Bu Angun. Dengan tiba-tiba sahaja Bu Angun berasa hairan mengapa Pak Bebek berasa teringin untuk menyebut namanya berulang kali, setelah sekian lama namanya tidak ditimang-timang.

"Ada apa bang ...... ?"

"Aku dapat bayaran yang mahal untuk rama-rama yang aku tangkap...."

"Eh, mengapa abang ni."

"Tidak. Aku dapat bayaran!"

"Abang pasti mengigau!

"Tidak. Ini wangnya..."

"Abang, abang..." goncang tangan Bu Angun ke tubuh Pak Bebek yang terliba di sofa.

Pak Bebek terloncat sedar dan tergagau-gagau. Dan bila kelopak matanya terkopak, apa yang disakssikan ialah lembaga Bu Angun tegak di depannya.

"Mana wang aku?"

"Wang apa?" Bu Angun diterjah keanehan.

"Wang yang diberi oleh penyair..." Pak Bebek bingkas bangun dan berlari menerkam masuk ke dalam kamar.

Pak Bebek menyelongkar di bawah bantal. Tiba-tiba dia terjerit.

"Ya, Allah..."

Apa yang dilihatnya? Matanya melotot melihat tujuh ekor kalajengking terkapuk di bawah bantal itu.

No comments: