Pages

Sunday, November 29, 2015

Pesta kunang

Oleh Muhd Nasruddin Dasuki

SIAPAKAH yang memancung leher sang rama-rama itu sehingga terpercik darah di basah embun? Siapakah yang mencabut pedang nafsu tatkala burung sufi pembawa utusan - tiba-tiba saja berdarah di sayap dan tersungkur ke bumi?

Siapa yang melenjitkan anak panah itu dari busurnya tatkala matahari tengah malam tiba-tiba saja mengecupkan sinar redanya?

Bukankah anak panah ke sasar itu yang memancung leher sang rama-rama dan mengoyakkan sayap burung sufi itu?

Sepotong langit tiba-tiba mengoyak warna bulan menjadi suram tatkala sang rama-rama semadi di liang abadi dan burung sufi - kepatahan sayap terkapar di laut luka.

Tanpa rama-rama - seikat mawar sunyi redup di kebun tidak lagi seindah bunga kalijou.

Babak: Membabat Citra

Watak: Aku & Rama-Rama

Latar: Sebuah taman

Masa: Hampir senja

Aku bukan penangkap rama-rama, terpaku - seekor burung sufi merintih sengsara menatap dunia semakin kelam. Aku usung burung sufi dari lantai bumi, ke sebuah wakaf di taman. Luka di sayap cuba aku ubati. Aku mengunyah kelat pucuk daun sengganen muda (daun sengganen boleh menghentikan aliran darah luka) kemudian kulekap pada sayap terluka.

Aku: (Simpati sambil mengelus sayap burung sufi) Apabila kita memikirkan - tidak ada orang lain yang hidup selain kita, inilah yang berlaku pada kau. Sesiapa pun menjadi maharaja; sebilah senjata mematikan hak bersuara; segenggam kuasa menjadi lembing perkasa. Kita bukan barang pajangan!

Burung sufi: (Masih mengerang kesakitan - tapi masih mampu bersuara) Apalah salahku? Kalau tidak ada kebebasan di bawah sepotong langit, di manakah lagi kebebasan hidup yang sering kita laung-jeritkan?

Aku: (Merenung sepasang mata iba burung sufi menunggu reaksi) Kulihat tadi seorang pemburu, aku pasti dialah penyebab sayap kau terluka. Aku tidak tahu, dia manusia durjana, dia mahu meruntuhkan niat suci - pembawa utusan.

Burung sufi: (Penuh kehairanan) Aku hanya membawa utusan, apakah dia tahu rahsia utusan itu? Benarlah, sebaik saja utusan itu terlerai dariku, aku yakin dia yang menyambar utusan itu.

Aku: Rahsia benarkah isi utusan itu? Sehingga sepotong nyawamu menjadi taruhan?

Wajahmu daun sunyi, sepasang senyap. Seorang narsis menyimpan makna di saku siang (wahai pemburu ular bungka. Usah menyimpan

bau ketakutan dari ujung rambut. Senja jatuh

kau berpesta kunang. Kau putuskan benang air mataku

dengan tali embun - ketika senja berbau dupa.)

Suara memar burung sufi seolah-olah kata-kata mengubah menjadi apa saja. Lagu suwung menekan di jiwanya.

"Saudara, ditakdirkan saudara bertemu pemburu itu, khabarkan kepadanya: Nikmat Tuhan - milik sejagat. Bukan milik dia, bukan milik mutlak saya, tapi setiap kita berhak memilikinya tanpa ada rasa curiga sesama sendiri."

"Insya-Allah. Alam ini dicipta untuk kehidupan dan manusia khalifah-Nya. Justeru setiap yang bernyawa atau tidak, berhak menikmatinya. Atau akan kubalas perbuatannya terhadap kau burung sufi!"

"Jangan! Bukan hak kita untuk membalasnya. Meskipun itu wajar, tapi bukankah ada yang lebih berkuasa dari mereka? Yang empunya kuasa pun, kadang-kadang masih memberi peluang mereka menjala sedar."

Babak: Melihat Bisu

Watak: Aku & Diriku

Latar: Makam Sang Rama-rama

Masa: Ketika semuanya menjadi sunyi

Petikan kecapi tembang sunda Cianjuran mengiringi pembawa obor mengelilingi makam sang rama-rama. Aku, berpakaian serba putih, dan pembawa obor berhenti tunduk simpati atas nasib sang rama-rama.

Aku: Sejak bertahun diam di taman berbunga Kalijou ini, saat kepiluan ini kita kehilangan sang rama-rama. Apakah kita terfikir akan indah taman ini tanpa rama-rama? Tanpa Seri Sang Puteri mengecap wangi bunga? Lihatlah bunga-bunga telah layu, kewangian menjadi bisu - kekejaman mula memburu, saat terharu kita pun dibelenggu sekawah ragu. Tidak adakah jaminan kebebasan untuk hidup tidak berseteru?

Diriku: (Bangun membelakangi makam sang rama-rama dan menatap taman seri puteri menghijau). Sulitnya menghitung kekuatan - hidup menjadi berkaca sepanjang hayat. Tidak bertata kerama, hidup menjadi kendalia. Kita kembali mendengar rasa takut.

Aku: (Menarik nafas panjang sambil mengecap bibir) Kau fikir siapakah aktor utama yang menyebabkan sang rama-rama dan burung sufi menerima nasib sedemikian lara? Tidak mungkinkah si pemburu bisu yang acapkali memekik - sering ke sasar di taman larangan ini?

Diriku: (Kembali menatap wajah Aku) Sudah tentu pemburu bisu itu. Dialah yang gemar bermain dengan rama-rama. Bukankah rama-rama citra keindahan dan jelita alam?

Aku: Burung sufi? Mengapa dia harus menjadi mangsa?

Diri: Bukankah burung sufi - kesetiaan, kejujuran menyampai khabar dan tidak pernah dusta apa yang disampaikan? Inilah yang menyebabkan pemburu terasa terbabat citra. Keperkasaannya nyata ada saingan.

Aku: (Menggelegak amarah) Kalau begitu, ayuh kita ajari dia! Muzik haleakala perlahan-lahan didengar, dibarengi rasa amarah dan geram. Embun syanida yang jatuh dari langit tidak mampu menjirus amarah.

"...aku melihat seikat wewangian dari cendana

menggoncangkan tunggul yang satu ketika

kau pernah luruhkan daun-daunnya. Kita berlari mencari

rahsia Tuhan sambil membakar nyala nafsu api

di daerah ningrat."

- lihatlah lewat pendar warna pelangi

akan aku sidai mentari di ampai bulan

dan mengubah apa saja menjadi kata-kata

rama-rama tumbuh di mata iba

dan burung sunyi - burung sufi menjadi sepasang senyap.

(hai pemburu, kita bersilat lidah - siapa sebenar

jaguh di pelana kesatria).

Aku dan diriku meninggalkan makam sang rama-rama dengan perasaan kaleleban. Kami harus mencari aktor utama yang menyebabkan pembunuhan rama-rama dan burung sufi - pembawa utusan itu.

Sebaik saja senja mendekap, kami dengar suara berkecapan dan benarlah suara itu bersinggungan dengan pemergian sang rama-rama dan bayang nasib burung sufi di ujung tanduk.

"Di manakah hendak kita cari pembunuh itu? Aku bimbang, akhirnya kita nanti dijadikan barang pajangan oleh pembunuh itu."

Diriku diam seperti sedang mengeja sunyi yang berkerak dalam hati. Mungkin bukan mustahil kami akan dijadikan barang pajangan seperti yang pernah dilihat di taman rama-rama, sedang yang lain bebas mengecap damai di taman, sebahagian yang lain keras dan kaku di dakap cermin menjadi pajangan di kamar pameran.

"Kita tidak mahu menjilat nasib masa lalu. Kubur kebenaran dan jenazah waktu menjadi saksi terkaparnya sang rama-rama dan burung sufi itu menyedut panggilan pencipta."

"Pembunuh itu bukan sebarangan pemburu. Sehingga langit tidak mampu tersenyum, apabila melihat pemburu itu keluar mencari pemangsa. Malah segala yang ada menjadi sunyi, sesunyinya. Lagu sunyi menggelepar membawa tanda pembunuh akan meraja-lela."

"Jika begitu sudahnya, apakah nasib kita?"

Akar kebimbangan sudah tumbuh dalam diriku. Mendulang masa depan dengan samar bayangan.

Babak: Memburu Aktor Utama Watak: Aku & Diriku Latar: Taman Kalijou Masa: Sebelum malam kelam

Di Taman Kalijou itu mereka bertembung dengan pemburu. Langkah menjadi mati secepatnya. Tumbuh di laman niat, ingin saling membunuh, tetapi sentuhan purba aku pantas memancung niat sang pemburu.

Aku: (Sambil bercekak pinggang) Kenapa tega kau bunuh rama-rama dan burung sufi itu? Tahukah kau, perbuatanmu menafikan hak kami merebut kemerdekaan kami?

Sang pemburu: Aku manusia yang patuh suruhan - pembunuh upahan. Tugas berat itu bukankah tanggungjawabku? Soal siapakah yang aku bunuh, bukankah kita semua pembunuh?

Berhadapan dengan aktor utama - pembunuh sang rama-rama dan burung sufi itu, sama seperti berhadapan dengan serigala bermata kelereng. Ah! Sehebat mana pemburu - bukankah ramai yang telah tewas di tangan mangsa buruannya?

"Lalu kau mahu bunuh aku? Kau mahu menjadi pembela sang rama-rama dan burung sufi itu atau akan aku bunuh semua burung-burung atau apa saja yang mengindahi taman ini?"

"Tak perlu kubunuh engkau kerana engkau akan mati juga sampai ketikanya. Pergilah engkau dengan gelar pemburumu itu. Setiap gerak dan langkah sumbangmu pasti mengundang cuak."

Sang pemburu dengan gerak egois memacu langkah ekapis.

Babak: Mengecap Sendu Watak: Aku & Watak tambahan Latar: Ruang perbukitan Masa: Senja hari

Ruang pentas dipenuhi dengan watak tambahan sedang mengeliling aktor utama yang terbaring mirip sedang menanti saat terpisahnya nyawa dari jasad. Raut wajah, sekalian yang ada terasa kelat dan seluruh isi alam yang bernyawa terpekur sunyi.

Sang pemburu @ aktor utama terbaring di tengah memejam mata. Darah masih mengalir dari susuk kiri. Entah anak panah siapa dan dari pemburu mana tiba-tiba saja menembusi paru-paru sang pemburu. Suaranya lirih bersimpul mati dengan desir nafas bagaikan kali terakhir bersuara.

Saat mengumpul sunyi - bau kembang kemboja terasa menusuk seolah-olah membarengi pemergian sang pemburu berhijrah ke alam batin. Tidak ada sesiapa pun tahu makna kubur kebenaran yang digali sebelum peristiwa berlaku.

Aku: (Bercakap kepada semua) Sekalian yang ada, saat ini kita berhadapan dengan musuh yang tewas di medan laga. Sebentar lagi, dia akan mengembara ke alam yang sudah sepatutnya dia diam. Sebagai insan, kita urusi dia sebagaimana manusia lain walaupun yang ditinggalkan kepada kita jasa tidak sekelumit mana melainkan serelung dendam.

Pengikut: Kita percaya dia bukan barang pajangan - harus dibiarkan. Biarlah langit akan senyum. Bulan kedinginan. Kebahagiaan yang kita idam cuma jadi barang langka. Lagu sunyi akan menggelepar. Kita usah menjilat masa lalu di mana harapan sudah di kerat hari.

"Ayuh...kita semua urusi dia sebaiknya saja memutuskan ikatan dengan alam..."

Sekalian yang ada sama menghampiri aktor utama, sama-sama mengusung jenazah sang pemburu keliling pentas. Lagu tembang jawa berselang seli mengiringi pemergian sebagaimana pemergian sang rama-rama dan burung sufi yang masih menatang lara.

Menjengur ke dalam kasyaf, belayarlah ke sanggar sukma

biarkan sepotong langit menjatuhkan kata dan

dakwat hitam untuk memutihkan makna yang

sepatutnya putih sebelum mengepak sayap bulan.

- "Melukis langit dengan kebencian ketika malam berbau dupa, seperti mengukur umur di benang pelangi.

Dalam kenikmatan-Mu, setiap isi saku nasib

bermakna menghirup dakwat rindu pencipta."

Sesudah diamnya aktor utama di liang semadi, perjalanan semakin selamat dari permainan nasib tatkala bunga-bunga sunyi mengembang dan menjamah anggur dari sepihan pecahan gelas dengan mata separuh terbuka.

Senyum selapis hari terus berguguran di segenap penjuru langit yang tidak lagi biru - menjadi berkeping-keping seperti sepotong roti.

Esok bermula pesta kunang - pesta merai kemenangan.

Saturday, November 28, 2015

Pampasan

Oleh Sharol Lail Sujak

DI LORONG selebar lima depa, dengan beralaskan selipar Jepun, Bee Hock bercangkung dengan kedua-dua lututnya hampir mencecah dagu. Tangan kurus berselirat urat-belurat timbul, tergari di hadapan. Di depannya beratur tiga orang yang juga mencangkung dengan tangan juga tergari. Dengan pakaian seragam kain kasa, baju teluk belanga lengan pendek warna putih serta celana biru separas betis melambangkan mereka wajar akur perintah penjaganya.

Pada bahagian dada sebelah kiri baju masing-masing tertera nombor empat angka tulisan hitam sebesar batang pensil, identiti individu penghuni kurungan itu. Mereka semua menghadap pintu kecil pada pintu besar berdinding besi tebal. Pintu kecil itu, pintu kepada pintu besar lorong Bee Hock bercangkung. Pintu kecil itu boleh dilolosi seorang saja dalam satu laluan. Kegunaannya untuk staf atau tahanan keluar-masuk kurungan. Kiri kanan lorong tempat Bee Hock dan tiga orang bercangkung itu, dipagari dinding batu bangunan tiga tingkat yang menempatkan Pejabat Kelola Kurungan itu.

Ada seorang penjaga yang kelihatannya hampir pencen berdiri berhampiran pintu kecil, mungkin penjaga pintu hari itu. Sementara dua langkah di kanan Bee Hock berdiri penjaga bermisai dan berjambang tebal, memakai daster berlilit kemas dengan bahagian bucu hadapannya berlambang logo Jabatan Kurungan. Di pundak bajunya tersusun tiga bintang daripada keluli kilat menunjukkan hierarki yang dipikulnya. Di sisi kiri pinggangnya tersisip pistol. Tangannya yang berbulu lebat bercekak pinggang, sambil mata bundarnya meliar memerhatikan Bee Hock dan tiga tahanan yang mencangkung di hadapannya.

"Mungkin dia penjawat baru." bisik hati Bee Hock yang sebelum ini belum pernah tengok penjawat berbintang tiga itu. Dari arah belakang, kedengaran dua penjaga sedang berborak sakan dengan berselangselikan kekehan-kekehan ringan mereka. Bee Hock tidak pasti apa yang sedang di borakkan mereka. Mungkin mereka berborak mengenai fiil rakan setugas mereka.

Walaupun sendinya lenguh dan perut mual dan loya, Bee Hock cuba berdisiplin dengan menikuskan diri. Jika gerak atau tingkahnya tidak kena, nanti tak tentu fasal habuannya akan hinggap. Dia takut kena sebagaimana tahanan sebiliknya semalam. Oleh kerana tergoyang-goyang ketika berbaris hendak mandi, tiba-tiba saja belantan sampai di peha rakannya itu.

Bandar adalah destinasi lawatan dan pelancongan yang indah dan bersejarah. Setiap hari bandar tidak kering dikunjungi pelancong atau pelawat lebih-lebih lagi pada musim cuti sekolah, suasana jadi lebih meriah lagi. Sekiranya melawat bandar, pastinya dengan secara tidak dirancang mereka akan mengunjungi Kurungan Bandar juga. Bukit Peranginan Damai terletak tidak jauh dari Kurungan Bandar, jalan untuk ke Bukit Peranginan Damai, melalui tepi tembok Kurungan Bandar. Tapak Kurungan Bandar pula terletak sebahagiannya di kawasan Saujana Taman Tenteram.

Tasik yang membiru nyaman dengan pesisirnya dicecahi hujung ranting pohon-pohon hijau menjajari jalan mengelilingi tasik menjadi tumpuan pelancong melepaskan lelah. Teduhan pohon hijau menambahkan kedamaian taman itu untuk muda-mudi memadu kasih dan yang berkahwin membaharui kasih. Pusat Antik yang menyimpan cerita lama negeri selalu dikunjungi kanak-kanak sekolah yang membuat kajian sejarah tempatan terletak bersebelahan dengan Kurungan Bandar. Di sebelah timur Saujana Taman Tenteram, bertentangan Kurungan Bandar terpelihara hutan simpan tempat haiwan hutan dipelihara untuk tontonan manusia.

Selalunya apabila terserempak dengan kurungan, setiap pelawat pasti akan terdongak-dongak mengintai kehidupan di dalamnya. Maklum sajalah pelbagai cerita didengar berkenaan kurungan itu. Begitu juga dengan Bee Hock, walaupun biasa dengan bentuk fizikal luaran kurungan itu, tetapi lehernya akan terjulur-julur seperti ibu ayam memerhati gerak helang yang hendak menyambar anaknya, cuba meninjau isi dalamnya. Bee Hock pernah mendengar cerita suasana dalam kurungan itu daripada penjaga yang melanggan sayurnya. Kerap juga Bee Hock nampak kenderaan kurungan membawa tahanan ke rumah sakit atau tempat kerja atau membawa mayat pesalah yang mati dihukum gantung pada paginya ke rumah sakit untuk disimpan dalam bilik mayat.

Bee Hock langsung tidak pernah terfikir dia akan menjadi warga kurungan. Tapi kini takdir menempatkan dia salah seorang penghuninya.

"Inilah yang dikatakan takdir," keluh kecewa Bee Hock kepada isteri yang dikasihinya Mei Ling yang gemuk itu, sebaik saja dia dijatuhi hukuman menjalani kurungan selama setahun oleh Badan Penimbangtara Negara. Dadanya sebak.

"Adinda pun tahu bukan, dalam hal ini abang tidak bersalah. Cuma," suaranya tersekat di situ.

"Kita bersalah kerana kita miskin," sambung Bee Hock dengan perasaan kesal kepada isterinya ketika dalam mahkamah sebelum dibawa ke kurungan.

Sambil merenung anak-anak yang ada dalam dakapan Bee Hock "Kekanda, saya akan teruskan usaha bagi memastikan anak kita tidak akan menjadi orang yang bersalah," tekad Mee Ling dengan suara halus bernada tegas dalam sayu.

Berdentang kunci selak yang sebesar ibu jari menghantuk penghadangnya, setelah ditarik penjaga yang hampir pencen yang berdiri di sebelah pintu kecil itu. Bee Hock terkejut, badannya tertegak, mata terbeliak ke arah bunyi itu dan nafasnya terhenti sebentar. Berdecit-decit bunyi ensel pintu bergeseran ketika pintu kecil itu diselak. Sebaik saja pintu kecil itu ternganga kelihatan pengangkutan yang dindingnya tertulis "Jabatan Kurungan Negara" bersedia menunggu mereka di luar pintu.

"Bangun! Bangun, semua masuk dalam pengangkutan," suara garau dari kerongkong penjaga berperut gendut dengan dua calit keluli kilat di lengan bajunya, tiba-tiba kedengaran di sebelah kanan Bee Hock. Tadi penjaga berperut gendut itu tiada di situ, tapi tiba-tiba saja berada di situ, mungkin penjaga yang berborak di belakang aku tadi, getus hati Bee Hock.

Mereka yang bercangkung semuanya bangun menurut perintah. Bee Hock juga bangun, tetapi terasa badannya melayang-layang hendak tumbang. Pandangannya kabur dan berpinar-pinar, kepalanya berdenyut mencengkam- cengkam begitu menyeksa sekali. Kakinya yang kebas dengan sendinya rasa ngilu sekali, menyebabkan langkahnya terhencut-hencut. Dengan keting dan peha yang kurus itu Bee Hock menahan badannya yang terhoyong hayang dari tumbang. Nasib baiklah badannya kurus, bolehlah digagahi berjalan.

Dalam pengangkutan, Bee Hock duduk di kerusi sebelah kiri paling hadapan. Ketika pengangkutan yang dinaiki itu melalui Jalan Lurus, Bee Hock melemparkan pandangannya sekejap ke kanan, Bangunan Pentadbiran Bandar, Kompleks Pusat Antik, sekejap ke kiri lalu pandangannya ditaburkan ke arah taman yang air tasiknya sejuk menyegarkan mata memandang.

la sungguh rindukan semua pemandangan itu, sehinggakan, seolah-olah ia tidak pernah melihat bangunan dan tempat di kiri kanan jalan itu.

Apabila pengangkutan yang membawa Bee Hock melintasi Pasar Besar Bandar, semena-mena hatinya merudum pilu. Selain kebun sayur dan rumah teduhan keluarganya, di Pasar Besar Bandar itulah usianya selama ini dihabiskan. Di Pasar Besar Bandar itulah juga dia menyambung nyawa anak isterinya.

Seawal ayam jantan pertama berkokok, walau dalam keadaan cuaca apa pun, Bee Hock dengan basikal tua warisan ayahnya yang sarat dengan berbakul- bakul sayur segar pasti menuju ke Pasar Besar Bandar. Kerjaya itu dilakukannya semenjak lebih 30 tahun, diwarisi dari ayahnya. Dia mengambil alih tugas ayahnya ketika baru berusia 15 tahun. Pengambilalihan perniagaan itu berlaku selepas bapanya mati dilanggar lori ikan ketika membawa sayur ke Pasar Besar itu.

Belumpun sempat dia menyusun sayur yang dibawanya di lot atas meja simen, pengunjung pasar telah ramai mengerumuni meja itu. Selain sayur yang dijualnya itu segar bugar, pengunjung Pasar Besar Bandar sangat senang pada Bee Hock kerana dia pandai menghormati pelanggan, dan sikapnya yang pemurah. Biasanya, pelanggan tetap akan mendapat sayur lebih daripada sepatutnya dan harganya pula lebih kurang saja. Oleh itu, selalunya dalam masa dua tiga jam saja sayurnya akan habis dijual.

Anak-anak Bee Hock masih kecil belaka, yang sulung 15 tahun dan yang bongsu enam tahun. Bee Hock berazam meninggalkan kemiskinan yang diwarisinya itu. Bee Hock bekerja keras, kerana ia bertekad tidak mahu anak-anaknya mengikuti nasibnya. Dengan itu, ia berusaha keras mengumpul duit untuk menyekolahkan anak-anaknya supaya mereka semua berjaya dan meninggalkan tradisi kemiskinan yang diwarisinya.

Semasa pengangkutan kurungan melintasi pasar besar itu, dia terbayangkan anaknya yang sulung, "Kasihan Bee Hang, dia terpaksa meneruskan tradisi keluarga menggantikan aku, sebagaimana aku menggantikan bapa aku dulu," bisik hatinya. Dadanya dirasakan sesak mengenangkan nasib anak-anaknya yang mungkin akan meneruskan tradisi kemiskinannya itu. Dadanya sebak sesebaknya, hampir saja air matanya berlinang, tetapi tidak sempat...

"Turun! Turun! Semua ikut saya!" pekik penjaga berpangkat tiga calit yang sedia berada di luar pengangkutan. Akibat pekikan itu, seluruh sebak yang membuak dalam dada Bee Hock berderai luluh. Bee Hock dan rakan tahanan lain menurut saja perintah penjaga itu. Mereka berjalan sebaris seperti itik balik ke reban, ke ruang menunggu mengikuti penjaga yang bercalit tiga dengan diiringi penjaga yang tidak bercalit dan di belakang pula diawasi penjaga yang berbintang tiga di bahunya. Seorang penjaga lagi berjalan laju di hadapan membawa fail yang dikeleknya sejak dari dalam kurungan tadi menuju ke kaunter pendaftaran.

Sampai pada satu ruang dalam blok utama rumah sakit, Bee Hock dan rakan tahanan serta penjaga yang ada tiga bintang itu duduk di kerusi pada barisan hadapan sekali. Di hadapannya terdapat pintu. Ada lapan semuanya. Jam dinding yang tersangkut di atas pintu nombor empat menunjukkan jam 9.00 pagi. Bee Hock memerhati sekeliling. Ramai pelanggan menunggu giliran berjumpa doktor. Bee Hock pasti diantara mereka yang menunggu giliran itu, ada yang pernah membeli sayur daripadanya, tetapi tidak seorang pun cuba hendak menegurnya. Ada yang tersenyum sinis. Ada yang melihat dan mengamatinya seolah-olah memastikan bahawa tahanan kurus yang duduk di kerusi di bahagian hadapan itu ialah si penjual sayur di Pasar Besar Bandar. Apabila mereka dapat kepastian bahawa memang tahanan kurus itu si penjual sayur, mereka buat tidak tahu saja. Bee Hock rasa begitu terhina sekali. lngin saja Bee Hock bertempik di ruang menunggu itu memberi tahu mereka, bahawa dia tidak pernah melakukan kesalahan terutama dalam perkara ini.

Penjaga yang membawa fail tadi telah sampai ke kumpulan Bee Hock, "Bee Hock, kamu masuk dulu nanti, tahu".

"Baik encik," akur Bee Hock sambil mengangguk-anggukkan kepalanya dengan gaya penuh hormat.

Selang beberapa minit kemudian, "Bee Hock, itu nombor giliran kamu. Mari kita masuk ha," kata penjaga tidak berpangkat yang membawa fail menunjuk ke arah nombor giliran elektrik berwarna merah yang tertera di atas pintu bernombor tiga.

Dengan tangan bergari Bee Hock diringi penjaga yang membawa fail menuju ke pintu nombor tiga.

Setiap bulan, Bee Hock memang ke rumah sakit ini untuk membuat pemeriksaan dan mengambil ubat penyakit darah tingginya. Boleh dikatakan semua doktor di Jabatan Pesakit Luar rumah sakit itu mengenalinya kerana selalunya apabila Bee Hock datang membuat pemeriksaan, doktor, jururawat dan kakitangan di Jabatan Pesakit Luar itu akan merasa hasil tanamannya. Tetapi tidak semenjak tiga bulan ini, kerana Bee Hock sudah tidak mengambil ubat darah tingginya lagi. Mungkin sebab itulah kepalanya rasa pening dan berat. Pandangannya kadangkala berpinar-pinar, mungkin kerana tekanan darahnya telah naik.

Penjaga yang mengiringi Bee Hock mengetuk pintu bilik nombor tiga. "Silakan masuk," kedengaran suara halus merdu dari dalam bilik nombor tiga menjemput mereka masuk. Sebaik saja Bee Hock melangkah masuk ke dalam bilik itu, jururawat Juliana dan Dr Mirdad yang sememangnya mengenali Bee Hock menjadi tergamam. Mereka tidak percaya yang berdiri di hadapan dengan pakaian seragam kurungan dan bergari pula ialah Bee Hock si penjual sayur yang mereka selalu beli sayurnya. Dr Mirdad menarik nafas panjang dan perlahan-lahan menyandarkan belakangnya di kerusi pusingnya tanpa melepaskan pandangan pada Bee Hock. Dr Mirdad dan jururawat Juliana berpandangan. Bee Hock tercegat berdiri berhampiran pintu yang perlahan- lahan tertutup itu menundukkan muka.

Dr Mirdad dan isterinya Dr Murni memang sangat kenal dengan Bee Hock. Sayuran yang mereka makan semenjak tiga tahun bertugas di rumah sakit itu adalah hasil peluh Bee Hock. Begitu juga jururawat Juliana dan rakan-rakan bujang rumah sewanya, bagi mereka Bee Hock adalah sinonim dengan sayuran.

Dalam keadaan percaya dengan tidak, yang tercegat di hadapan mereka itu ialah Bee Hock. Jururawat Juliana sudah dapat mengagak masalah Bee Hock lalu mempersilakan Bee Hock duduk di kiri meja Dr Mirdad untuk membuat pemeriksaan tekanan darah.

Dr Mirdad tidak berminat untuk memeriksa Bee Hock, dia membiarkan Bee Hock duduk termanggu-manggu. "Bee Hock, macam mana kamu boleh masuk kurungan ni?" perkara itulah yang sangat ingin diketahui Dr Mirdad, matanya tepat memandang ke muka Bee Hock.

Boleh dikatakan lama juga jedanya, barulah Bee Hock bersuara. "Tuan, saya orang miskin. Memang, yang miskin adalah mangsa, walaupun di sisi undang-undang yang dikatakan adil," suaranya lemah dan tersekat-sekat sambil sekali-sekala memandang ke arah penjaga.

Dr Mirdad tidak menyangka jawapan yang begitu berfalsafah keluar dari mulut Bee Hock seorang penjual sayur. Dr Mirdad jadi bingung mendenga jawapan Bee Hock.

"Lebih 30 tahun saya berkebun sayur, dan itulah saja punca pendapatan untuk menyara keluarga saya," Bee Hock tunduk sayu, ia tidak dapat meneruskan kata-katanya. Dr Mirdad membiarkan saja keadaan berlangsung begitu.

"Saya bersyukur, kerana dapat menyara keluarga saya," semangatnya kembali pulih.

"Tapi doktor, semenjak awal tahun ini, apabila hutan di sebelah bukit sana di bersihkan untuk dijadikan padang golf..." Bee Hock diam dan memandang ke arah bucu bilik pemeriksaan itu dan kemudian ke arah penjaga yang tersenyum.

"Apa kena mengena dengan padang golf itu ?" Dr Mirdad mendesak.

"Bila hutan tempat tinggal mereka dibersihkan, babi-babi itu pastinya ketakutan ditambah pula dengan punca rezeki mereka hilang, maka secara alamiahnya babi-babi itu akan lari masuk ke kampung yang berhampiran mencari perlindungan dan rezeki. Doktor tahu tak, selama tiga bulan saya kehilangan pendapatan kerana sayur-sayuran saya habis di sondol babi hutan," semangat Bee Hock pulih, dengan panjang lebar Bee Hock menjelaskan, umpama seorang Profesor Emeratus ilmu Sains Sosial memberikan Syarahan Perdana.

"Ha, apa kena mengenanya antara babi hutan dan kau kena penjara?" Dr Mirdad begitu ingin mengetahui penjelasan selanjutnya.

Sambil kepalanya digeleng-gelengkan.

"Saya tidak faham," jelas Dr Mirdad ikhlas.

"Apakah tindakan tuan, katakan jika sayuran yang tuan tanam untuk menyambung nyawa keluarga tuan di musnahkan oleh babi hutan seperti yang saya alami?" Bee Hock menyoal Dr Mirdad yang sudah tidak menghiraukan penjaga yang berada di sebelahnya.

Dr Mirdad menung sekejap, "Saya bunuh babi itu," terpacul kata-kata itu dari mulut Dr Mirdad.

"Itulah yang saya lakukan doktor. Saya didapati bersalah kerana membunuh hidupan liar. Itulah fakta undang-undang kenapa saya dipenjarakan! Doktor, saya masuk penjara pada hakikatnya sebagai bayaran pampasan ganti rugi kepada babi yang tempat kediaman dan rezekinya yang dirampas oleh pemaju padang golf!," jawapan Bee Hock membuatkan Dr Mirdad melopong.

Dr Mirdad dan jururawat Juliana lopongnya semakin besar.

Friday, November 27, 2015

Sidang Luka

Oleh Tajuddin Saman

RUANG itu sempit dan gelap.

Tiada angin bertiup di situ.

Dan di ruang yang panas itulah mereka bertemu. Di situ mereka hanya duduk bersila rapat-rapat di atas tanah yang lembap. Hidung mereka hampir tersentuh di antara satu sama lain. Nafas mereka tertahan-tahan kerana bau tanah dan cacing yang hanyir menusuk hingga ke paru-paru.

Keadaan sekeliling sungguh tidak selesa. Tapi ketidakselesaan itu satu kelumrahan hingga mereka sering bertanya: Apakah kehidupan insan seperti kita memang ditakdirkan begini? Kita dilarang menikmati kesenangan daripada hasil titik pemikiran dan butir peluh sendiri?

Sebaliknya kita perlu sentiasa berada dalam penderitaan hidup yang berpanjangan hingga ada waktu sampai anak sendiri terpaksa makan nasi dengan garam? Jiwa ketiga-tiga seniman yang hampir sezaman itu tepu dengan pergolakan.

Luka Satu:

Di ruang sempit dan busuk itu dia meluahkan perasaan kepada dua rakannya. "Aku berfikir tentang bangsa, agama dan tanah air dan menghasilkan karya untuk ditinggalkan sebagai pusaka warisan anak cucu di kemudian hari.

Hingga sekarang aku sudah hasilkan lebih 40 karya novel, drama, antologi cerpen, puisi, catatan kembara dan segala sesuatu mengenai kesusasteraan untuk bangsaku.

Dalam kesibukan itu, aku terlupa tentang diriku sendiri. Apabila sesekali aku teringat tentang tanggungjawab terhadap perutku dan perut anak isteri, aku jadi malu kerana dikatakan materialistik.

Ilmuan dari menara gading juga menuding jari kepadaku. Mereka tanpa segan silu menuduh aku seorang hipokrit kerana membangkitkan soal royalti. Mereka mahu aku menulis semata-mata untuk seni atau untuk masyarakat.

Segala usahaku, bagi mereka, sama sekali terlarang untuk dikecapi hasilnya untuk diri dan keluarga sendiri. Kalau diri yang cuba diselitkan dalam pemikiran berkarya, ia dianggap satu dosa paling besar; seolah-olah kerana memikirkan soal keperluan diri dalam menghasilkan karya akan melayakkan diriku ditempatkan semata-mata di perut neraka.

Mereka mahu aku berjalan kaki, naik bukit turun bukit, mencari ilham seperti Rabindranath Tagore. Mereka mahu sasterawan itu papa kedana tanpa satu apa pun tetapi pada waktu yang sama, sasterawan mesti menghasilkan karya yang agung untuk bangsa, agama dan tanah airnya!

Ah! Mereka tentunya bercakap dari puncak menara gading yang bukan saja penuh ilmu tetapi juga hasil bulanan dan segala macam hasil sampingan yang lumayan.

Aku juga tahu apabila aku mati seperti sekarang, mereka akan mewujudkan sebuah kerusi Sasterawan Negara Ahmad Sanusi Sulaiman (SNASS) di universiti dan profesor yang duduk di kerusi itu akan menerima hasil bulanan serta hasil sampingan yang terlalu lumayan kerana mengkaji karya serta pemikiranku!

Aneh bukan? Seorang profesor yang tidak pernah menghasilkan sebuah karya pun dipilih menduduki kerusi SNASS itu hanya untuk mengkaji karya serta pemikiran orang lain dan dia yang menerima ganjaran paling lumayan sedangkan sasterawan sepertiku yang dikajinya harus hidup papa kedana, sengsara dan derita.

Kalau anakku makan nasi dengan garam sekalipun, aku dilarang menyebutnya kerana itu satu dosa yang tidak terampun. Kalau gelodak jiwaku meronta- ronta ingin menyebut juga soal ganjaran yang terlalu sedikit itu jika dibandingkan dengan segala pengorbanan berkarya untuk bangsaku itu maka mereka bingkas mentertawakannya.

"Kamu sasterawan ringgit!" kata mereka "kamu sasterawan hipokrit!" tuduh mereka.

"Tidakkah kamu lihat sasterawan zaman silam menghasilkan karya agung seperti Hikayat Hang Tuah misalnya tanpa sedikitpun meminta ganjaran, bahkan namanya sendiri tidak dilekatkan pada karya agung itu!

Dalam hal ini, fikiranku pula tertanya, mana ilmuan itu tahu bahawa penulis Hikayat Hang Tuah atau Sejarah Melayu tidak pernah menerima sebarang ganjaran?

Tidak mungkinkah Raja atau Sultan pada zaman itu memberikan sedikit atau sesuatu ganjaran kepada penulis berkenaan sesudah dia selesai menyiapkan karya berkenaan?

Atau tidak mungkinkah Sultan sendiri yang meminta penulis itu mencatatkan segala peristiwa mengenai pahlawan Melayu terbilang itu pada zaman itu?

Segalanya serba mungkin. Tetapi mereka terus memanggilku dengan segala macam gelaran yang terlalu buruk kerana sesekali cuba menyuarakan keluhan jiwa yang amat hampa dengan kerenah birokrasi pihak tertentu yang mengendalikan penerbitan karyaku.

Mereka halalkan kerenah birokrasi yang memperdagangkan karyaku itu tetapi mereka pandang jijik padaku yang cuma sesekali menuntut hakku sendiri.

Mereka juga mengukir anggapan sendiri bahawa seorang sasterawan semestinya menulis untuk kepuasan diri, bukan untuk kebendaan atau untuk menggalas perutnya sendiri bagi menyambung nafas pada hari-hari tuanya pada zaman yang menuntut serba serbinya dengan bayaran ini.

Mereka mungkin juga mengharapkan seorang sasterawan itu pada usia lesunya nanti akan singgah di katil rumah kebajikan masyarakat dan menghembuskan nafasnya yang terakhir di situ.

Dan waktu itu mereka mungkin menghantar kalungan bunga yang disisipkan dengan tulisan: "Nah! Di sinilah berakhirnya riwayat seorang sasterawan tulen!"

Kesimpulannya, pada saat ini aku semakin berasakan bahawa sasterawan selalunya mesti terseksa dan diseksa dan orang lain yang memakai jubah keilmuan atau menjadi pegawai tinggi direlakan atau dihalalkan berehat bersama keluarga di tepi pantai yang indah dan bersantai di rumah besar, berkereta besar dan pada hujung-hujung minggu ke kelab golf atau ke dusun melihat anak-anak durian yang disemai di sana.

Dan mereka mahu sasterawan terus berjalan kaki, memanjat tangga bas, menggalas beg usang berisi kertas dan pena, mengembara ke sana ke mari mencari ilham untuk menghasilkan karya yang agung untuk bangsa, agama dan tanah airnya.

Apabila aku bertanya kenapa royaltiku yang tidak seberapa itu dipotong? Mereka bingkas dengan cepat dan mudah saja menjawab: "Andalah sasterawan yang materialistik!"

Tuan-tuan profesor dan tuan-tuan pegawai! Sila tanggalkan jubah universitimu atau tali leher dan kotmu dan turunlah ke arena sastera sepertiku dan hasilkanlah karya agung tanpa meminta-minta apa yang menjadi hak dirimu seperti pengemis di Jalan Chow Kit!

Tidak saja terpaksa papa kedana; sasterawan juga harus menjadi pengemis kepada kerenah birokrasi yang berencam itu. Aku terpaksa menebalkan mukaku apabila ada pegawai tinggi dalam birokrasi yang melemparkan kata-kata sinisnya: "Dia bukan sasterawan abad ke-21. Dia cuma sasterawan abad 20 dan dia juga sasterawan yang mengada-ngada!"

Aku terpaksa tanggung kelukaan dalam hatiku sendiri, bang Ramlee. Dan sekarang aku betul-betul menyampah. Justeru, aku ingin sekali mengucapkan "Selamat tinggal pada dunia yang pernah kucintai selama lebih 40 tahun itu..."

Luka Dua:

Wajahnya memang wajah seniman. Jika dia tersenyum, kumis halusnya menggulai raut muka yang memang kacak itu. Susuk tubuhnya yang sedikit gemuk sekarang tidak menjejaskan ketampanannya sebagai pelakon dan pengarah filem.

Dia juga dikenali sebagai seorang penyanyi. Dia digilai anak muda zamannya kerana suara yang merdu. Lagunya mencecah ke pendengaran umat di seluruh Nusantara dan sesekali berada pada kedudukan tertinggi di Eropah!

Siapa pernah menyangka lagu ciptaan Seniman Agung kita itu pernah menduduki carta nombor satu di sebuah stesen radio di Jerman pada 1960-an? Orang Jerman sendiri terpegun mendengar irama muzik dan nada lagu "Di Mana Kan Kucari Ganti" yang disuarakan Seniman Agung kita itu. Malah, sebuah lagi lagu karyanya - "Getaran Jiwa" disadur menjadi lagu Inggeris dan dinyanyikan oleh penyanyi Barat.

Tapi malangnya nama pencipta lagu yang berkulit sawo matang itu tidak dicatatkan pada kaset lagu Getaran Jiwa versi Inggeris itu. Dan tiada siapa mempedulikannya kerana seniman itu tiada lagi di dunia ini.

Dialah Seniman Agung yang memukau negara ini selama hampir tiga dekad lamanya. Sejak 1950-an, dia sudah menghasilkan ribuan lagu dan ratusan filem.

Suatu ketika waktu seluruh industri perfileman Asia masih tercari-cari arah masing-masing, dia sudah mempamerkan kehebatan diri yang mewakili bangsanya.  Pada 1960-an dia pernah ditabalkan sebagai Pelakon Bijaksana Asia.

Dialah satu-satunya anak Melayu yang meruntun jasad seorang tokoh bahasa negara - Pendeta Za'ba - untuk berjabat tangan dengannya sambil mengucapkan ayat yang klasik: "Terima kasih kerana saudara telah mengangkat martabat bangsa Melayu di mata dunia!"

Tetapi apabila dia mendengar keluhan SNASS, SA Ramlee menangis terisak- isak. Kisahmu terlalu memilukan hatiku. Aku tahu kaufaham mengapa aku menangis mendengar ceritamu.

Tidak! Bukan kerana aku juga seniman sepertimu tetapi aku menangis kerana aku juga pernah menerima nasib sepertimu. Aku tahu, kau pun tahu tentang ceritaku.

Kita bukan baru berkenalan. Kita sudah mengenali antara satu sama lain sejak sama-sama tinggal di Singapura pada akhir 1950-an. Dulu pun, waktu kau mula berjinak dengan sastera, aku sudah bilang padamu, jangan terlalu ghairah bersastera.

Tapi waktu itu kaumarah-marah sambil bertanya kembali kepadaku: Kenapa mesti begitu, bang? Waktu di Singapura, kau masih muda. Kau belum mengerti tentang realiti kehidupan seorang seniman yang lumrahnya penuh sengsara kerana itu jawapanku dulu hanya sekadar: "Tunggulah Abdul, satu hari nanti abang akan berikan jawapannya..."

Nah, sekarang kita sudah sama-sama seliang dan selubang dalam erti kata senasib. Sekarang kausudah masuk ke alam realiti kehidupan seorang sasterawan. Kaumengalami apa yang abang pernah alami sewaktu meronta-ronta meminta bantuan untuk menubuhkan sebuah syarikat perfileman Melayu di ibu kota yang kunamakan Rumpun Melayu.

Waktu itulah aku tersedar daripada keghairahan tidur yang terlalu lena dalam dunia seni. Ya, seni untuk masyarakat. Seni untuk bangsaku sendiri.

Tetapi waktu kesedaran itu datang, aku sudah berumur, Dol. Pada usia begitu, daya fikirku hampir menjadi hampas tetapi perjuangan seni tidak berakhir pada angka usia yang lanjut.

Aku tidak menyerah kalah kerana itu aku cuba bangunkan syarikat perfileman Melayu yang pertama di negara sendiri. Sebelum itu, puncak karyaku sudah tercurah dalam syarikat bukan milik bangsa kita.

Kalau ada yang terkilan, itulah kekesalanku paling besar. Namun, itu juga adalah takdir yang tidak dapat diubah lagi. Tanpa Syarikat filem Shaw Bintang itu, bakatku mungkin tidak tercungkil sampai bila-bila dan ia mungkin mati di kampung saja.

Tuahku mungkin terletak pada lagu ciptaanku yang awal pada akhir tahun 1940-an. "Azizah", lagu yang kucipta penuh perasaan syahdu untuk mengenang seorang yang wujud dalam hidupku benar-benar membawa tuah hingga Shaw Bintang terus memanggilku ke studio mereka di Jalan Hampas, di Singapura.

Sejak saat awal aku menjejakkan kakiku ke studio itu, aku mula mengenali dunia seni yang penuh cabaran ini. Orang di luar studio selalu menyanjungku tapi ramai yang dekat denganku melontarkan segala penghinaan terhadapku. Itulah harga yang mesti kubayar pada dunia seni yang penuh keindahan ini.

Apa boleh buat. Rupa-rupanya adat hidup orang seni memang begitu. Rupa- rupanya nasib orang filem sepertiku lebih kurang sama seperti sasterawan.

Akhirnya sesudah begitu jauh melalui lorong seni ini, jiwaku benar-benar luka Mad. Waktu aku cuba membangunkan Rumpun Melayu Filem Production itu, aku terima sepucuk surat dari sebuah institusi kewangan yang mengatakan: "Tuan tidak layak diberi pinjaman..."

Kautahu untuk apa aku mahu pinjam wang dari bank itu? Aku sebenarnya mahu bikin filem Melayu di Hong Kong. Aku mahu pecahkan tradisi perfileman negara. Kalau orang kita sanjung filem Hong Kong, kenapa kita sendiri tidak mahu bikin filem di sana dan eksport pula filem kita itu ke sini? Kaulihatlah judul filem yang aku mahu bikin di Hong Kong itu: "HIDAYAT" namanya. Filem ini bercorak agama; pertentangannya cukup bagus. Abang yakin ia lebih hebat daripada "Semerah Padi" yang pernah kuarahkan pada 1960-an dulu.

Tapi setelah hampir 30 tahun berkecimpung dalam dunia filem hingga aku digelar Seniman Agung, kautahu apa yang aku dapat sekarang?

Aku dipandang hina di tanah air sendiri, Dol. Aku tidak layak meminjam dari bank untuk membangunkan filem Melayu yang hampir maut waktu itu.

Kenapa mereka takut memberi pinjaman kepadaku? Kalau mereka mahu, aku rela cagarkan seluruh karya lagu-lagu ciptaanku dalam tempoh 36 tahun itu kepada mereka. Ambillah dengan apa cara sekalipun royaltinya asalkan aku dapat bikin sebuah filem paling agung untuk bangsaku.

Tapi itu hanyalah impianku sebagai seorang seniman, Dol. Kenyataannya cukup berbeza dan menyedihkan sekali. Akulah Seniman Agung yang kemudiannya terpaksa merempat di merata tempat dan tidak dihargai langsung oleh institusi kewangan kerana aku tidak ada cagaran apa-apa untuk disandarkan kepada mereka.

Tidak ada sebuah institusi kewangan pun mahu terima hanya nama seorang Seniman Agung bangsa dan tanah airnya sebagai cagaran atau sekurang- kurangnya tidak ada seorang pun yang sudi membantuku untuk membangunkan semula dunia perfileman Melayu yang semakin merosot.

Rupa-rupanya orang hanya pandang pada nama seniman itu hanya pada ketika dirinya berada di puncak. Sesudah hidupnya menurun, tinggallah dia dahaga dalam kemarau hidupnya sendiri.

Waktu itu, aku juga mula menyampah sepertimu, Mad. Kau tahu, apa yan kulakukan sesudah membaca surat jawapan dari bank itu? Aku koyak- koyakkannya hingga menjadi perca kertas yang halus dan kemudian kulemparkan ke angin lalu hingga ia berderai, berterbangan dan jatuh perlahan-lahan ke bumi.

Sesudah itu, aku masuk ke dalam rumahku dan kuambil satu-satunya pingat yang diberikan kepadaku, konon kerana mengenang jasaku pada negara lalu kucampakkannya melalui tingkap rumahku dan aku tidak akan mengutipnya lagi sampai bila-bila...

Luka Tiga:

Dia hanya seorang biduan dan raut wajahnya yang manis tidak lagi bergula. Waktu itu kesenduan mengusik perasaannya. Air mata menitis perlahan-lahan ke pipinya yang semakin dimamah usia.

Dia amat sedar. Dia hanya seorang biduan. Dia bukan pencipta atau penggubah lagu dan irama. Dia hanya seorang biduan biasa. Sekadar kerana dianugerahkan suara yang lemak merdu, dia muncul sebagai seorang biduan yang dikagumi ramai pada zaman 1950-an dan 1960-an.

Sewaktu SNASS dan SA Ramlee bercerita, dia hanya mendiamkan diri. Tapi dia mendengarnya dengan khusyuk. Sesekali waktu menghayati kisah sasterawan dan seniman itu, jiwa seninya menikam-nikam dirinya dari dalam. Waktu itu dadanya menjadi sebak dan mengalirlah manik-manik air yang bertali-tali di pipinya.

Dia memang tidak pandai bercakap. Segala yang dilaluinya tersimpan hanya di dalam dirinya sendiri. Hidupnya juga penuh seribu liku.

Ceritaku mungkin tidak sehebat kisah abang Ramlee dan adik Mad. Tapi biduan juga hidup atas dunia seni. Aku pernah dijulang ribuan orang waktu sampai ke lapangan terbang kerana mereka ingin mendengar suaraku di pentas nyanyian. Ketika aku berada di puncak dunia seni, ribuan orang menjerit- jerit meminta aku nyanyikan laguku: "Nona Singapura" atau "Air Mata Kasih".

Waktu itu tidak ada televisyen. Tapi ketika suara nyanyianku diputarkan melalui radio, anak-anak muda di seluruh negara menyerbu ke corong radio mereka dan memperbesarkan bunyinya. Lalu mereka ikut menyanyi bersamaku di rumah masing-masing.

Setiap yang terhibur pasti bergembira. Kegembiraan selalunya melahirkan tubuh badan yang sihat. Secara tidak langsung, aku juga pernah menyumbangkan kesihatan hidup pada anak muda yang mendengar laguku.

Tapi "Nasib Seorang Biduan" tidak pernah menjanjikan hari tua yang aman tenteram. Kira-kiranya nasib biduan tua sama seperti petani atau nelayan tua. Tidak ada jaminan persaraan dalam hidup kami yang serba tidak menentu sepanjang waktu.

Pada waktu usia semakin meninggi, nafasku tidak lagi membenarkan suaraku dihela begitu lama. Kalau aku mencubanya juga, ia akan menjadi semput dan akibatnya memudaratkan tubuh badan yang semakin lemah.

Rupa-rupanya seorang biduan dihargai hanya pada waktu nafasnya panjang dan ketika suaranya mampu melenggokkan lagu yang menjadi halua telinga pendengar.

Apabila biduan tidak lagi mampu berlagu, tepukan gemuruh tidak lagi terdengar. Kian lama orang terus melupai kehadiranku di pentas hiburan.

Radio pun tidak lagi memutarkan lagu nyanyianku kerana juruhebahnya bertukar tangan kepada orang baru yang tidak lagi mengenaliku. Hanya sesekali bila ada siaran nostalgia, suaraku yang sayu mungkin dipasang semula.

Waktu aku mendengar suara lamaku di zaman baru ini melalui radio kecilku yang selalu berada di sisi, air mata tidak terasa mengalir di pipiku.

Masih terbayang waktu aku mula menyanyikan lagu itu dulu, ribuan orang berhimpun di padang luas di kota-kota besar. Mereka memekik melaungkan namaku.

Aku insaf, aku menyanyi bukan kerana nama. Tapi kalau ada sekelumit sumbanganku sebagai seorang biduan, aku hanya ingin teruskan kesinambungan irama dan lagu bangsaku yang punya jati diri sendiri. Aku sebenarnya terlalu bimbang terhadap pengaruh asing yang mungkin menyerap ke dalam irama dan lagu bangsa kita.

Tapi rempuhan itu tidak dapat ditahan-tahan. Kini pengaruh Barat yang kubimbangi itu begitu rancak menelan irama dan lagu anak bangsaku.

Aku tidak lagi mengerti apakah maknawi irama lagu anak bangsaku yang berkecamuk masa kini. Warisanku bagaikan hilang haluan dan kembali tercari-cari arah yang sudah aku dan rakan seangkatanku dirikan dulu.

Yang perlu anak warisanku lakukan sekarang hanyalah berusaha mengembangkan semula wadah yang sudah kami bina itu. Tapi kebanyakan mereka bagaikan terputus langsung daripada akar umbi seni irama dan lagu bangsanya sendiri.

Pada saat akhir usiaku, aku masih lagi menyanyikan lagu-lagu lamaku. Namun kali ini pentasku tidak lagi di kota besar tapi aku hanya dijemput menyanyi di pentas funfair di kampung-kampung.

Kota besar kini dipenuhi generasi muda yang lebih mesra dengan petikan tali gitar pemuzik Barat dan mereka tidak lagi menghargai gesekan biola orang timur.

Hari tua seorang biduan yang kulalui terlalu pedih. Pertembungan diri biduan lama dengan arus perubahan generasi baru bagaikan menamatkan riwayatku sebagai seorang biduan.

Sekarang orang tidak pernah lagi mendengar "Orkes Teruna Sekampung" atau "Ghazal Party Idrus Saidi Kepala Batas" tapi generasi sekarang hanya kenal "BRU", "A to Q", "Bearch" dan entah apa lagi.

Dalam keadaan itu, aku tidak punya sebarang simpanan. Pendapatan penyanyi 50-an dan 60-an tidak sehebat sekarang. Ia sekadar cukup untuk belanja hidup pada waktu itu.

Hartaku yang ada hanyalah piring-piring hitam lama yang mengandungi lagu-lagu nyanyianku dulu. Ke manapun aku pergi, itulah yang kubawa.

Pada saat akhir aku rebah di pentas funfair sebuah kampung, aku dihantar oleh orang yang budiman ke hospital di Kelang. Waktu itu di dalam kocek sakuku hanya ada wang kertas seringgit. Itulah saja hartaku pada saat nyawaku berada betul-betul di hujung maut.

Thursday, November 26, 2015

Bunga cinta di Pristina

Oleh Hariza Mohd Yusof


RISYA memandangku. Pandangan kami bertaut erat. Tetapi lidahku kelu.

"Kenapa Kamal harus tergesa-gesa. Kami masih perlukan saudara di sini."

Aku menghela nafas dengan agak berat. Kata-katanya jelas menikam tangkai jantung hatiku.

"Entah bila saya boleh berjumpa Kamal lagi"

Risya yang kukenal sebagai gadis tabah terisak-isak. Air matanya sudah mengalir laju membasahi pipi gebunya. Bahunya tersengguk-sengguk menahan tangisan.

"Risya, saya akan kembali ke sini lagi. Insya-Allah, jadikan pertemuan ini sebagai satu permulaan bagi kita, tetapi saya harus kembali ke Malaysia dahulu. Panjang umur, kita akan berjumpa lagi."

Aku keraskan hatiku. Sesungguhnya ini pertama kali hatiku terikat kuat dengan seorang gadis yang jauh beribu-ribu batu. Satu perasaan yang agak aneh menular dalam hatiku. Perasaan yang tidak pernah ada sebelum ini. Aku tidak pasti dan takut menyatakan apakah perasaan itu sebenarnya.

Jip UN kedengaran nyaring enjinnya. Dr Sideq kulihat sedang memerhatikan enjinnya. Mungkin pemeriksaan kali terakhir sebelum bertolak.

"Kamal, kita harus bertolak sekarang. Penerbangan akan berlepas dalam masa tujuh jam. Perjalanan ke Zegreb agak panjang." Panjang lebar Dr Sideq mengingatkan aku. Aku mengangguk tanpa jawapan. Mengiakan saranan Dr Sideq. Aku tahu dari Pristina, aku terpaksa berhenti di Tirana. Sekurang- kurang aku memerlukan lima jam untuk sampai ke Zagreb. Hembusan angin tidak berupaya melenyapkan perasaanku yangg tidak tahu apa kepastiannya. Kakiku seakan beku melekat di tanah. Risya memainkan jemarinya tanpa tujuan.

Isakannya makin jelas kedengaran. Risya menggigit bibirnya menahan tangis. Dan aku mula berasakan kelelakianku makin cair apabila setitis air jernih hening mengalir di pipiku. Berat. Terlalu beratnya kaki untukku meninggalkan bandar Pristina. Pristina yang mengikat hatiku.

Aku menghulurkan tangan. Risya memandangku dengan matanya merah berair. Agak lambat tangan lembutya menyambut tanganku.

"Semoga kita berjumpa lagi," suaranya lirih antara kedengaran dan tidak. Dalam tapi berat. Dan aku hanya mampu mengangguk. Terus aku berpaling dan menaiki jip tanpa menoleh. Kukeraskan hatiku dari mendengar isakannya yang betul-betul menjerut hatiku.

Langkahku terasa berat. Gelagat penumpang yang tidak seberapa dan boleh dibilang dengan jari tidak kuhiraukan. Aku lebih senang melukiskan kembali kenanganku dengan Risya. Gadis Albania Muslim yang tega semangat juangnya. Entah bila aku akan berjumpanya lagi. Hanya Tuhan yang mengetahui.

Sesungguhnya Pristina meloretkan kenangan yang sukar kumengerti. Yang pasti, hatiku terasa sakit, pedih dan sedih. Bercampur baur. Meremuk redam perasaanku sendiri. Entah apa gerangannya yang betul-betul mengikat hatiku pada Pristina, aku sendiri tidak pasti. Kecelaruan ini membuatkanku terawang dalam dunia sendiri tanpa menghiraukan teguran yang sayup-sayup kedengaran di telingaku.

Waktu jam 6.00 pagi, aku mengharapkan aku dapat bersenang-lenang di bawah selimut lagi, tetapi mentari yang memancar di Kasova seakan begitu cemburu melihat aku. Pristina sudah dibaluti kehangatan mentari, walaupun cuacanya tidaklah seterik di bumi Malaysia sekarang ini.

"Di sini tidak ada masa untuk kaubersenang-lenang. Kami terpaksa bekerja keras sekarang. Kami mahu membina kembali kehidupan kami di sini. Anak- anak kami perlukan pembelaan. Meskipun perjalanannya jauh lagi, tapi kami harus teruskan juga. Keadaan di sini masih tidak menentu, entah lebih baik dan mungkin juga lebih buruk." Kata-kata Risya masih tergiang-ngiang di telingaku, membuatkan aku bingkas bangun menyiapkan diri.

Di bandar Dechan, aku tidak menyaksikan bangunan yang sempurna sifatnya, keruntuhan yang diakibatkan oleh keganasan puak Serb memang tidak mengambil masa yang panjang, tetapi mahu membinanya kembali, aku tidak tahu bila. Segalanya kucatatkan dalam diari kecil yang sentiasa tersemat dalam poket belakang seluarku. Sepanjang aku di sini sudah beberapa tempat aku lalui. Pristina merupakan hentian terakhir sebelum aku berangkat kembali ke Malaysia.

Risya, berkerut wajahnya memandangku. Aku yang berasa diperhatikan berhenti seketika. Lantas menoleh ke arahnya, dan pandangan kami bertembung buat sekian kalinya.

"Saudara tidak menyesal datang ke sini?"

Aku memandangnya kembali. Kulit putihnya bermanik halus akibat mengangkat barang-barang dari lori. T-shirtnya agak lencun. Ketinggiannya menyamai ketinggianku. Bibirnya merah tanpa lipstik. Anak matanya masih merenung tajam kepadaku. Dia masih mengharapkan jawapan kepada pertanyaannya.

Aku masih diam. Sengaja melambat-lambatkan jawapan. Roti pintal yang bersalut daging di dalamnya kumamah dengan agak lahap. Keenakan rasa puri tomato tidak dapat menahan seleraku.

Risya mendengus pelahan.

"Buat apa saya perlu menyesal. Saya bangga datang ke sini."

"Isteri encik tidak menghalang?

Aku ketawa. Bukan ketawa buat-buat lagi. Mataku berair menahan ketawa. Entah mengapa soalan itu kurasakan lucu pulak. Risya memasamkan mukanya. Dia mungkin sakit hati melihat aku seolah-olah mempermainkannya.

"Minta maaf. Soalan itu melucukan. Saya tidak ada isteri lagi. Masih mencari." Aku menjawab dengan diselang-selikan ketawa kecil.

Risya senyum. Minuman Coca cola diteguknya perlahan. Aku memerhatikan botol Coca cola yang nampaknya masih dapat meluaskan pasarannya dalam keadaan yang genting macam ini.

"Saya tidak menyesal datang ke sini. Itu pilihan saya."

"Orang Malaysia macam mana?"

"Macam orang sini juga, semuanya ada dua mata, satu hidung, satu mulut, semuanya sama."

Risya ketawa lepas. Tangannya tidak semena-mena menampar lembut bahuku.

"Saudara memang pandai. Sudahlah saya tak mahu bercakap dengan saudara lagi."

Risya merenung jauh ke depan. Melihat sesuatu yang tidak pasti.

"Dahulu, kawan saudara yang menghantar bantuan kepada kami cakap, tempat saudara tidak ada peperangan. Semuanya berjalan dengan lancar. Anak-anak ke sekolah dengan damai, kaum perempuan diberi hak yang sepatutnya, tidak ada apa yang patut ditakuti, semuanya berjalan dengan aman. Saya impikan semua kehidupan seperti itu. Tentu suasananya berlainan dengan di sini. Setiap hari kami dalam ketakutan. Takutkan askar Serb yang tidak berperikemanusiaan. Kaum perempuan takut ingauan ngeri berulang, takut kehilangan harga diri dan kehormatan, takut kehilangan anak-anak, dan juga suami. Sesaat nafas penghidupan amat bererti bagi kami di sini." Risya bercerita. Sebenarnya meluahkan rasa hatinya.

Aku diam. Membiarkan Risya dengan luahan perasaannya. Matanya tepat merenung ke depan. Khemah yang berpacakan itu direnungnya seperti menghitung satu persatu manusia yang menghuninya. Rumah-rumah yang ada sudah hilang bumbungnya. Kayu-kayu yang patah jelas kehitaman rentung dimakan bedilan Serbia.

"Saudara lihat di sana!" Risya menunjukkan ke satu arah sebelum menyambung ceritanya. "Dulu, kami ada rumah, semua ahli keluarga berkumpul di bawah satu bumbung. Kami ada bilik sendiri. Setiap waktu makan, kami berkumpul di ruang makan. Keluarga kami besar tetapi sangat rapat. Selepas berkahwin kami lebih suka tinggal di bawah satu bumbung, rumah yang ada kami besarkan, tetapi lihat apa yang kami ada sekarang. Hanya arang dan debu. Hanya kehancuran."

Risya meneruskan ceritanya.

"Rumah kami sudah musnah. Saudara tahu sebulan lagi musim sejuk akan tiba, kami persiapkannya sebelum musim itu. Khemah yang ada sekarang tidak mampu untuk melindungi kami daripada kesejukan."

Risya memandang aku. Mata coklatnya mengandungi seribu pengharapan yang aku sendiri tidak pasti.

"Betapa beruntungnya saudara!" Suaranya kedengaran halus dan lirih.

"Jagalah nikmat yang saudara dapat. Kiranya keadaan sudah jadi begini, terlalu sukar untuk kembali kepada nikmat yang asal."

Aku membiarkan Risya dengan kata-katanya. Apabila Risya mula melangkah ke khemah aku menyusulnya dari belakang. Kubiarkan Dr Sideq, warga Sudan meneruskan kerja pemunggahan barang-barang. Lagi pun dia dibantu oleh Rechan, abang Risya.

Pemandangan memang menghancurkan. Rumah-rumah dengan tiang hitam bercacakan dengan abu di sekeliling menjadi panaroma yang biasa sekarang. Yang bernasib baik masih ada sebahagian dindingnya lagi. Sisa-sisa yang ada hanyalah tunggul-tunggul hitam yang berceracak kaku. Jendela dan pintu utama ditutupi dengan kanvas buat sementara waktu.

Rechan tiba-tiba tergopoh gapah mengambil kunci jip daripadaku. Tidak sempat aku bentanyakan apa-apa, beberapa kawannya menyusul sama dan sesaat jip itu telah hilang daripada pandanganku.

"Ada panggilan dari Peya. Tenaga mereka diperlukan di sana." Suara Risya memecah kebuntuanku.

Aku mengangguk, mengerti.

"Peya adalah kubu kuat kami setakat ini, maksud aku kubu kuat KLA. Rechan terpaksa ke sana. Kalau kami bernasib baik, kami akan berjumpa dengannya lagi," suara Risya kedengaran beku tanpa emosi.

Hatiku sebak sendiri. Menyaksikan mereka bertungkus-lumus mempertahankan maruah dan tanah air sendiri. Mereka tahu sesiapa yang berjuang ke medan, belum pasti akan kembali lagi! Ya Allah kurniakan aku hati yang secekal ini!

"Saudara Kamal, saya akan ke Pristina. Mahu ikut?"

Pertanyanan Risya mengejutkan aku. Agak ragu aku ingin memberi jawapan. Sejenak aku termangu. Tanpa menunggu jawapanku, Risya berlari-lari kecil ke arah lori barang tadi. Belakang lori itu sudah kosong. Dr Sideq sudah menghidupkan enjinnya. Melihat keadaan itu, beg sandang yang berisi dokumen penting kusangkutkan ke belakang. Bahuku terasa ngilu, mungkin kerana beberapa hari ini banyak tenaga digunakan memunggah barang-barang ini. Memikirkan adalah lebih baik aku mengikut mereka, aku memanjangkan langkahku. Lagi pun Pristina bukanlah jauh sangat. Sudah beberapa kali aku ke sana.

Kurasakan pilihan yang terbaik ialah berada di belakang trak itu. Kakiku pantas sahaja memijak palang besi dan sebelah lagi melangkah ke dalam. Risya yang sudah duduk di depan menukar alihnya. Dia nampaknya lebih senang bersamaku di belakang trak kecil ini. Rambut perangnya yang terurai panjang nakal mengibarkan hujungnya di muka. Tangannya pantas menyelitkan anak-anak rambut di dalam skaf ringkasnya.

Kami mendiamkan diri. Agak banyak persoalan yang ingin aku lontarkan, tapi lidahku kelu dan sebu. Terasa semuanya tersangkut di halkumku untuk diluahkan.  Lalu terus aku luahkan pemandanganku di sekeliling. Dari jauh kelihatan puncak hijau gunung yang dipanggil black mountain. Hamparan air yang mengalir jernih dengan kerikil kecil jelas memberi satu pemandangan yang menakjubkan.

Kayu-kayu tanda penunjuk jalan jelas berada dalam keadaan tunggang langgang.  Tulisan-tulisan Serb sudah dihapuskan. Sebutan dan ejaan digantikan dengan ejaan bahasa Albania. Bangunan di bandar ini tidak banyak yang roboh. Semuanya masih tetap teguh di tempatnya.

"Cuba saudara lihat, kenapa di sini sessi pembersihan etnik tidak ada, kalau ada pun tidak banyak. Bangunan masih teguh berdiri. Mereka sebenarnya pandai dan bijak. Pristina banyak didiami oleh puak dan bangsa Serb. Sebab itulah bandar ini selamat daripada kehancuran. Mereka tidak akan membunuh bangsa mereka sendiri."

Aku memandang sekeliling. Gerai-gerai banyak didirikan di sepanjang jalan. Begitu juga beberapa restoran. Kelihatan wanita tua bertudung hitam dan putih Ialu Ialang di situ. Gadis remaja berseluar jeans ketat dengan t-shirt ranggi bersiar-siar mengambil angin.

Wanita tua bertudung putih kebanyakannya adalah Albania Muslim. Aku lihat juga wanita tua ortodoks Kristian memakai tudung. Tetapi yang membezakannya ialah warna sebagai lambang.

"Saudara lihat itu..."

Aku berpaling ke arah Risya, ingin memastikan apa yang ingin dikatakannya. Trak yang membawa kami sudah sampai, berhenti di sebuah perhentian restoran. Risya melompat turun tanpa menggunakan palang besi lagi. Aku juga melakukan terjunan yang sama, meskipun agak ragu pada mulanya. Risya tertawa melihat aku agak takut-takut.

"Beberapa kurun kami berada di bawa telunjuk Serbia. Setengah daripada kami mula melupakan penghayatan kepada Islam yang suci. Apatah lagi generasi muda kami. Sukar bagi kami mendapatkan segala maklumat tentang perkembangan Islam. Kami diselubungi oleh doktrin sekular dan sosialis. Sehingga generasi kami mula kabur dan berada dalam dilema identiti."

"Kemudian kami diserang. Konon untuk menghapuskan puak pelampau, tetapi sebenarnya mereka ingin menghapuskan saki baki etnik kami yang masih bertahan dengan Islam. Ramai kaum lelaki yang dibunuh. Kami tidak tahu di mana kuburnya, dan di mana mayatnya dihumbankan. Entah! Mungkin nasib kami lebih buruk lagi daripada jiran kami Bosnia"

Aku masih diam. Aku rasakan lebih baik membiarkan dia berkata-kata.

Risya memandangku. Anak matanya tepat merenung aku. Terkejut dengan telatahnya aku juga ikut merenungnya.

"Saudara mahu katakan sesuatu?"

"Apa dia?" Aku termangu. Aku mengeluh perlahan, bila aku rasakan terperangkap dalam perasaanku sendiri.

"Terlalu banyak yang ingin saya katakan. Semuanya seolah-olah tersangkut di dalam dada saya."

"Saudara seorang yang aneh. Pendiam, tetapi penuh dengan idea yang padu. Pendiam, tetapi mampu bertindak dengan pantas."

"Minta maaf, saya memang pendiam. Bukan seorang yang mengatakan, saya tidak pandai bercakap banyak.Tetapi saya rasakan lebih baik banyak diam, tetapi tahu apa yang perlu dibuat."

"Saudari lihat gadis-gadis itu." Aku memandang ke depan. Sekelompak gadis remaja berjeans ketat sedang berbual-bual dengan beberapa askar UN. Risya turut memadang ke arah itu.

"Remaja itu begitu suci. Dalam keadaan sekarang mereka tidak ada satu olehan dan pengisian yang mantap sebagai satu benteng untuk mempertahankan jati diri mereka. Saya takut, mereka akan menjadi seperti krisis di Vietnam. Saudari pernah dengar?" Aku bertanya.

Risya menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku melanjutkan hujahku.

"Di sana ramai askar Amerika yang datang dengan tujuan untuk menjadi benteng atau pertahanan. Kononnya untuk menolong menyelaraskan mereka, tetapi dalam keadaan itu, begitu ramai yang mengambil peluang melepaskan nafsu mereka. Hasilnya lahirlah anak yang tiada bapanya, yang menjadi kecelaruan kepada mereka."

"Anggapan saudara keterlaluan." Risya memandangku. Dia nampaknya tidak senang dengan pendapatku.

"Minta maaf, mungkin anggapan saya terlalu kasar, tetapi itulah yang berlaku. Risya harus berbuat sesuatu untuk kepentingan mereka. Benar mereka masuk ke sini untuk keamanan, tetapi jangan lupa mereka adalah manusia." Agak dalam peneranganku.

Risya diam. Mungkin penjelesan tertelan olehnya.

"Saya akan lakukan apa yang terbaik untuk mereka, tapi saya perlukan pertolongan saudara, bolehkan?" Renungan Risya penuh harapan. Aku mengangguk dengan hati yang lapang dan gembira.

"Saudara, sila tegakan tempat duduk. Kita akan mendarat di KLIA Sepang sebentar lagi. Seorang gadis berbaju kebaya tersenyum manis ke arahku. Wajah Risya lenyap dari pandanganku. Aku memandang gadis yang tersenyum lembut kepadaku. Sepatah ucapan dariku yang tidak difahaminya membuatkan dia berkerut kehairanan.

Faleminderit!

Wednesday, November 25, 2015

Pemburu dan tujuh lembah

Oleh SM Zakir

MEREKA lahir daripada lahar, ribut dan api. Mereka adalah pemburu yang lahir bersama kejahatan pertama yang terpisah daripada rusuk manusia pertama. Mereka adalah pemburu yang menghumbankan manusia pertama keluar dari syurga. Langit mereka hitam dan kelam. Bumi mereka gelap dan likat. Seluruh ruang dan waktu adalah rimba perburuan mereka. Hidup dan mati tidak mempunyai sebarang makna dan sebarang garis pemisah bagi mereka. Mereka hidup dan terus hidup. Memburu dan terus memburu. Mereka pemburu yang wujud pada setiap jasad yang digumpal dari setiap ketulan tanah. Mereka pemburu yang mengendarai setiap roh yang tertanam di dalam setiap jasad yang bernyawa. Sama ada di langit atau di bumi, di liang angin dan di reroma bumi, mereka adalah pemburu yang matlamatnya cuma satu - membunuh setiap kebaikan dan kebenaran!

Di bawah langit yang gelita, mereka mengendarai malam yang gelap merempuh rimba, gurun, samudera, gunung dan jurang. Mereka memburu dan memburu hingga akhirnya langkah mereka dipaku di sebuah daerah lembah di pertemuan dua laut. Mereka terhenti di hadapan seorang manusia yang sedang bertelut antara dua sujud. Di antara lembah dan laut manusia ini mengapungkan dirinya di atas saf zikir yang bergemerlapan memampati rongga udara sehingga ruang yang ditempatinya jadi terang bercahaya bagai bintang di langit tujuh.

Inilah buruan kita yang paling mahal!

Inilah buruan kita yang paling agung!

Inilah buruan kita yang paling terpilih!

Mereka menjerit, bertempik dan menari-nari mengelilingi daerah cahaya lelaki itu. Serentak itu mereka mula menghujani segala senjata dan kebuasan mereka membekati lelaki itu. Namun semua senjata dan kebuasan mereka gugur menjadi bunga sebelum mencapai hatta segaris cahaya yang mengepung lelaki itu. Mereka mula gempar. Sungguh. Memang seluruh senjata dan segala kebuasan mereka gugur bagai debu kosong. Lelaki itu terus dimampati oleh saf zikir yang semakin lama semakin membesar.

Sebelum sempat mereka berkerdip, saf zikir telah mengepung mereka. Mengepung dan mengepung hingga tidak membenarkan walau setitik zarah melepasinya. Mereka benar-benar kalut.

Sebelum sempat mereka berkerdip lagi, saf zikir itu telah merantai mereka. Merantai dan merantai hingga tidak membenarkan walau sederit gerak pun berdetak.

Kamu telah aku rantai! Kamu sesungguhnya adalah pemburu yang tidak boleh aku bunuh. Kamu adalah pemburu binal yang hanya boleh aku kawal dan rantai. Kini kamu adalah tebusanku yang akan aku kendarai untuk menyempurnakan kemanusiaanku. Lelaki itu kemudian dengan mampatan saf zikirnya yang bergemerlapan itu menghela mereka menurutnya. Mereka sudah tidak mempunyai apa-apa daya dan kekuatan untuk melawan mahupun membantah. Mereka benar-benar kalah dan terpasung di dalam kekuasaan lelaki itu.

Untuk menyempurnakan kemanusiaanku, tujuh lembah terpaksa aku harungi. Dengan kamu, wahai para pemburu yang menjadi kenderaan pasunganku, akan bersamaku mengharungi tujuh lembah itu.

Lelaki dan mereka memasuki lembah yang pertama. Lembah pertama ini ialah lembah kebinatangan. Lembah ini gelap dan kotor. Di sana sini hanya bergempa ngauman liar dan pesta hilai yang begitu huru hara. Mereka berasa nyaman. Inilah lembah yang harus mereka duduki. Ini lembah yang nyaman. Mereka menggeletak keghairahan. Menggeletak cuba membebaskan diri mereka daripada rantai lelaki itu. Namun itu semua sia-sia. Semakin dicuba semakin ketat dan perit rantai itu membelit mereka. Mereka tahu ini adalah lembah yang mereka gelumangi. Di lembah ini, mereka memburu manusia dengan mengumpankan godaan kejahatan. Di lembah ini mereka membina sangkar perangkap yang menjadikan kebaikan dan kejahatan tidak ada bezanya. Menciptakan perangkap yang menjadikan kejahatan itu indah dan kebaikan itu hina. Dan buruan mereka menjadi lega dan gembira apabila berada dalam kejahatan. Hingga akhirnya buruan ini terkulai di tangan mereka dengan mudah. Di lembah ini mereka menggunakan senjata dan perangkap yang bernama bakhil, tamak dan cintakan dunia, panjang angan-angan, sombong takbur, cinta kemegahan dan kemasyhuran dunia, hasad dengki, dendam kesumat, khianat dan niat jahat, dan lalai serta leka. Senjata dan perangkap ini menewaskan buruan mereka dengan mudah. Agh! indah sekali lembah ini. Mereka mengecurkan liur namun mereka disentak dengan keras. Perit rantai membuatkan mereka sedar keadaan mereka. Mereka disentak dan ditarik dengan rantai zikir yang keras dan bertalu-talu tanpa henti. Lelaki itu menarik mereka keluar dari lembah pertama.

Lelaki itu mengenderai mereka memasuki lembah kedua. Lembah kedua ini adalah lembah perlawanan. Lembah ini masih gelap dan kotor tetapi tidak sekotor lembah pertama. Di lembah ini kali pertama  mereka menghadapi perlawanan daripada buruan mereka. Di lembah ini buruan agak menentang. Buruan mereka di lembah ini agak gemar berfikir, mencuba memperbaiki kelemahan diri, melawan dan cuba membezakan kejahatan yang mereka umpankan. Di lembah ini mereka menggunakan senjata dan perangkap yang lebih baik daripada lembah pertama. Mereka menggunakan senjata dan perangkap yang bernama mencela diri sendiri, hairan dan takjub kepada diri sendiri, ujub, riak, gemarkan pujian orang, sumaah dan alpa. Mereka mula berasakan benih perlawanan di lembah ini. Namun mereka masih mempunyai senjata dan perangkap yang kuat di lembah ini. Semangat mereka membara dengan rasa jiwa pemburu dan menghadapi buruan yang semakin mencabar, namun sekali lagi mereka sedar mereka sedang ditunggangi oleh lelaki penzikir itu. Rantai zikir lelaki itu semakin kuat dan keras. Peritnya menusuk sekali. Zikir itu sudah tidak bermain di lidah lagi tetapi sudah memerosok ke dalam kalbu. Zikir itu menjadi tambah dalam dan kuat hingga mereka tidak mempunyai daya lagi untuk melawan.

Mereka terus dikendarai hingga memasuki lembah ketiga. Lembah ini lembah ilham. Lembah ini semakin gersang buat mereka. Di sini perburuan tidak banyak dan sukar. Mereka menghadapi kepayahan di lembah ini. Di lembah ini perlawanan itu semakin hebat bahkan perlawanan itu sehingga berhasil melebur dan menghancurkan sebahagian daripada mereka. Senjata dan perangkap mereka harus lebih baik dan kuat. Di sini kesukaran mereka bermula. Di lembah ini ekoran  perlawanan keras daripada buruan membuatkan mereka tidak memperoleh buruan yang banyak. Di sini buruan pula yang mempunyai senjata dan perangkap yang menewaskan sebahagian daripada mereka. Buruan mempunyai senjata dan perangkap yang menjadi perisai daripada mereka seperti pemurah dan tidak sayangkan harta iaitu sakhawah, cukup dengan kurniaan yang ada iaitu qana'ah, berilmu laduni atau ilham, merendah diri iaitu tawaduk, taubat hakiki, sabar hakiki, cekal dalam kesusahan serta kesengsaraan dan teguh. Mereka harus berjuang keras dalam perburuan di lembah ini. Mereka kemudian menyedari bahawa rantai zikir yang membelenggu mereka semakin kuat. Di sini zikir yang mengalir di dalam kalbu tadi telah menyelinap dan bersembunyi di dalam roh iaitu batin bagi kalbu. Zikir menjadi sentiasa hidup dan kuat. Di lembah ini mereka menemui dua senjata hebat para buruan iaitu fana dan syuhud yang terhasil ekoran kebersihan hati. Pembersihan hati ini pula dilakukan oleh `nur' dan `waridah' yang didapati daripada kesungguhan amalan wirid tarikat dan mujahadah. Walau begitu, satu kelemahan buruan mereka di lembah ini yang mana menjadi senjata untuk mereka menyerang dan menewaskan buruan ialah senjata pertahanan buruan ini masih tidak mencapai tahap istiqamah. Di sedikit kelekaan, mereka akan pantas menewaskan buruan di lembah ini. Aghhh! Mereka ditarik dan dipacu keluar dari lembah ketiga itu. Mereka kini menjadi semakin tidak berdaya. Lembah demi lembah ini semakin lama semakin menyukar dan memeritkan mereka.

Lelaki itu terus memacu mereka memasuki lembah keempat. Lembah ini lembah ilmu yang pasti. Lembah ini semakin menyengsarakan mereka. Di sini mereka terpaksa bertempur hebat dan menggunakan segenap kelebihan dan kehandalan yang ada. Lembah ini adalah kediaman para pahlawan perkasa. Mereka bukan sembarangan buruan lagi. Pertahanan mereka kukuh dan keras. Kubu kukuh mereka dibina daripada murah hati dan ikhlas, tawakal yang benar, ibadat yang benar, syukur yang benar, reda yang benar, dan takwa yang benar. Lembah ini adalah lembah yang menghancurkan mereka. Mereka lebur di sini. Di sini mereka ditewas dan diperhambakan oleh para pahlawan dan aulia yang perkasa ini. Zikir para pahlawan dan aulia di lembah ini bukan lagi bermain di dalam roh tetapi telah jauh dan keras ke dalam sirr iaitu batin bagi roh. Zikir para pahlawan dan para aulia ini menjadi bersebati dengan denyutan nadi. Setiap perbuatan para pahlawan dan para aulia ini lahir bersama dan senyata dengan zat Maha Agung. Mereka benar- benar menjadi kerdil dan hina di sini.

Lelaki itu terus mengheret mereka ke lembah kelima. Lembah ini lembah keredaan. Mereka tidak punya apa-apa lagi di sini. Lembah ini adalah tempat mereka dipenjara dan dikuasai. Penghuni di sini bukan para buruan lagi tetapi para penjaga yang keras dan tegas. Mereka sedikit pun tidak menjadi ancaman kepada penghuni di sini. Mereka telah terkikis dari lembah ini. Penghuni di lembah ini adalah manusia yang sudah hilang segala keinginan selain daripada keinginan kepada keredaan. Zikir penghuni lembah kelima ini telah tenggelam ke dalam suatu persembunyian rahsia atau sirrusirri. Penghuni lembah kelima ini tidak melihat apa-apa lagi selain daripada nikmat keredaan. Mereka wujud tetapi seperti mati di lembah ini. Penghuni lembah ini tidak mempedulikan mereka dan penghuni lembah ini juga tidak mempunyai sebarang liang yang dapat mereka masuki bagi perburuan mereka. Mereka lapar, letih dan dungu di lembah ini.

Lelaki itu tanpa mempedulikan kesengsaraan mereka terus mengendarai mereka memasuki lembah ke enam. Lembah ini lembah penghadiran. Lembah ini adalah yang paling keras hukumannya bagi pemburu seperti mereka. Di sini mereka hanya wujud kerana ihsan dan belas. Lembah ini penjara yang maha kukuh buat mereka. Mereka bukan lagi pemburu tetapi abdi. Penghuni di lembah ini adalah yang terpilih antara yang ada. Percakapan, perbuatan dan segala yang keluar daripada penghuni lembah keenam ini adalah semuanya pengaliran daripada keredaan zat Yang Paling Agung. Di lembah keenam ini, kenikmatan dan kelazatan memenuhi seluruh lembah. Kenikmatan dan kelazatan daripada cinta dan kepada cinta zat Yang Maha Agung. Zikir penghuni lembah ketujuh hadir sebagai yang kekal dan hidup dalam satu persemadian rahsia yang disebut akhfa yakni batin bagi sirrusirri. Mereka menjadi abdi di sini.

Akhirnya kesengsaraan mereka disucikan di lembah ketujuh. Lembah ini lembah kesempurnaan. Lelaki mengendarai mereka perlahan hingga tiba di lembah ketujuh. Di hadapan lembah ketujuh, lelaki itu berhenti. Kemudian seperti kapas yang ditiup bayu lelaki itu bergerak memasuki lembah ketujuh. Mereka yang sudah menjadi setitis kabus terheret sama melayang menuruti lelaki itu. Lembah ini putih tanpa ada walau segaris zarah kehitaman. Silau cahaya membutakan mereka. Namun gamitan rasa yang bening, mulus dan suci itu menarik mereka bagai tarikan kutub yang amat hebat. Di sinilah kesempurnaan kemanusiaan yang dicari-cari lelaki itu. Di lembah ketujuh ini roh dan hati menjadi kekal dengan zat Yang Maha Agung. Penghuni di sini adalah yang terpilih antara yang terpilih. Di sini manusia mencapai kesempurnaannya. Dan mereka para pemburu menjadi suci dan tenggelam ke dalam rahsia zikir yang dalam. Seluruhnya di sini adalah putih tanpa sezarah garis hitam. Seluruhnya di sini adalah keredaan, keikhlasan dan kesucian yang melangiti ruang.

Di sini akhirnya mereka bertanya kepada lelaki itu tentang siapakah sebenarnya dia. Aku adalah aulia yang pernah ditemui oleh seorang rasul di pertemuan antara dua laut.

Tuesday, November 24, 2015

Peristiwa di Jeram Kol

Oleh Zakaria Ali

HUSSAIN perhatikan mata Mak Kumah dan Pak Sayap beralih ke lantai, enggan bertembung dengan pandangannya.

"Mak Cik tak mau Hamidah dapat sukulai ke lantai," dia beranjak dan menapak turun tangga. Dia berasa amat luka sebab mengikut persetujuan sulit antara dia dengan Hamidah, ibu bapanya bersetuju menerima peminangannya. Begitu yakin dia akan keputusan mereka itu, dia sendiri pergi bertanya, tanpa peranan orang tengah untuk merisik.

Lorong becak dari tangga rumah ke tebing sungai sejauh 15 meter. Hussain melangkah berat, malunya tidak tertahan.

Hussain berdiri di tebing buat seketika, menahan sebak. Dia menoleh ke belakang, kalau-kalau Hamidah ada di serambi, atau di tingkap dapur. Dia hanya nampak bentuk-bentuk kabur, berpetak-petak oleh air matanya yang jatuh berderai.

Hussain melepaskan ikatan botnya, melompat masuk, menghidupkan enjin, dan bergerak terus, menuju arah ke hulu. Dan botnya berselisih dengan bot Sikli, orang yang dia benci dan yang benci dia.

Meskipun dibesarkan di tebing Sungai Tembeling, Sikli amat takut kepada jeram. Tiap kali bot yang dia naik, atau yang dia pandu, melintasi kawasan jeram dia akan mengangkat kedua-dua tangannya ke atas seolah-olah bersedia untuk menghadapi kemungkinan botnya karam. Dan dia tak pandai berenang macam mana pun cuba belajar. Beberapa kali dia diselamatkan apabila hampir lemas meskipun air tidak sedalam mana. Dan Hussain tahu, punca benci Sikli itu ialah Hussain cepat berenang, dan tahan lama menyelam. Kelebihan Hussian inilah yang amat menyakitkan hati Sikli. Sikli tahu melintas jeram itu kepada Hussain adalah sukan yang menyeronokkan.

Dan Hussain mengerti, hatinya hancur lebur dan berselisih pula dengan Sikli yang menuju ke rumah Hamidah adalah petanda lukanya akan terus berpanjangan.

Penduduk sepanjang Sungai Tembeling, dari Jerantut di hilir hingga ke Kampung Batu Pecah di hulu, mulai mendengar berita sedih itu dengan perasaan cemas bercampur kecewa. Di kedai kopi di Kampung Tilam yang ramai dikunjungi penduduk pada pasar Jumaat untuk menjual dan membeli barang- barang keperluan harian, percakapan tertumpu kepada nasib Hussain. Penolakan keluarga Hamidah itu langsung tidak disangka, sebab semua orang bersetuju, kedua-dua kekasih itu amat padan, sungguhpun umur Hamidah sudah 34 tahun, 10 tahun lebih tua daripada Hussain.

Dan Mak Kumah dan Pak Sayap jarang membenarkan Hamidah keluar rumah, khuatir diganggu orang. Dan Hamidah sejak kecil lagi memang menangkap perhatian umum: Dia rupawan yang amat putih. Sekejap saja berjemur di tengah halaman, atau di kebun getah, atau turun ke dalam bot dari rumahnya di Kampung Matdaling hendak ke Kampung Tilam sejauh 20 minit itu, kulitnya terbakar merah.

Dan sejak dulu lagi Kumah dan Pak Sayap bergantung kepada Hussain untuk mencari ubat-ubat dedaun hutan yang kemudian ditumbuk lumat dan disapukan kepada kulit Hamidah untuk memulihkannya kembali. Atau Hussain membeli ubat singse di Jerantut yang diberinya sendiri kepada Hamidah, satu kesempatan untuk mereka berdua-duaan buat seketika dalam perahu yang berlabuh di depan rumah Pak Sayap.

Beza antara Hussain dan Hamidah ibarat siang dan malam: Hussain hitam legam. Kulitnya telah dibakar mentari sejak usianya 10 tahun lagi bila dia mula-mula mengendalikan bot penumpang, yang terdiri daripada orang kampung dan pelancong dalam dan luar negara. Memang Hussain sedar akan hakikat ini yang tidak boleh diubah macam mana pun.

Itulah maksud Mak Kumah - "lain dari yang lain" sebab seih, bibir berkilat, tulang pipi tertonjol, mata kecil, dahi sempit, bahu bulat, belakang bongkok, badan kurus lamping, tinggi hampir 6 kaki, memang lain, terpacak tinggi di atas dataran kepala yang bersongkok, berkopiah, bertudung, tak bertudung yang berduyun-duyun di Kampung Tilam pada hari Jumaat.

Orang kampung semuanya mengeluh pilu. Sehitam-hitam orang pun dia ada hati. Dan hati ltu boleh jatuh cinta. Dan seputih-putih orang pun dia ada hati. Dan hati itu juga boleh membalas cinta. Sebaik-sebaik mana pun Mak Kumah dan Pak Sayap mereka terfikir juga apa nanti kata orang sebab beza Hussein dan Hamidah itu jauh sangat.

Selepas peristiwa itu, Hussain menyorok di rumah datuk sebelah ibunya di Kampung Jeram Perahu, yang terletak paling hulu di bukit bersempadan dengan Terengganu.

Kemudian tersebar cerita Hussain menjual botnya dan berhijrah ke Kuala Lumpur, bekerja di sebuah hotel lima bintang sebagai seorang bell boy.

Tiga bulan selepas penolakan peminangannya itu, Hamidah telah dilamar oleh Sikli yang berasakan inilah kemenangannya yang terbesar dalam rangkaian kemenangannya yang lain yang bermula dengan kematian bapa Hussain dalam satu kemalangan lalu lintas sungai dekat Jeram Kol.

Ketika itu senja, hujan renyai-renyai. Bot bapa Hussain mudek dari hilir, dan bot bapa Sikli pula turun dari hulu, sama-sama laju. Lazimnya sesudah Maghrib pemandu berhenti bekerja sebab bot tiada lampu; lampu picit kurang jelas dalam hujan renyai-renyai. Pemandu main agak-agak dalam gelap. Di selekoh Jeram Kol yang amat meruncing itu, bot mereka bertembung, haluan kayu merbau bot bapa Sikli yang runcing itu menusuk perut bapa Hussain, tembus. Mangsa meninggal serta-merta. Mujur ketika itu dua bot berisi suku Orang Asli sedang berlalu. Merekalah yang menolong mengangkat mayat sampai ke Kuala Tahan yang pihak berkuasa, sesudah berunding dengan sanak saudara kedua-dua keluarga bersetuju tiada laporan dibuat. Kes itu senyap begitu saja.

Sikli terus mengejek, memperli, mengusik Hussain yang memang enggan bergaduh. "Antara malam dan manggis masak, mana hitam?" tanya Sikli kepada kawan-kawannya di jeti, ketika Hussain sedang berlalu dengan botnya. Hussain buat pekak. Bertambah pula, sesudah Hussain menjadi yatim dia pendiam. Perubahan ini tidak dihiraukan sangat oleh penumpang yang sudah kenal dia. Dan bencinya terhadap Sikli dipendamnya sehingga dia terngigau- ngigau. Dia dapat membayangkan satu saat dia sanggup membunuh Sikli, menghunus parangnya sehingga terburai perut musuhnya itu. Tapi apabila dia berhadapan dengan Sikli di jeti di Kuala Tahan, dia diam, memandang ke arah lain buat tak tahu.

Di Kuala Lumpur, Hussain dapat berita, Sikli dan Hamidah telah berpindah ke Felda dekat Rompin di mana Sikli bekerja sebagai pembawa traktor bergaji harian. Hidup mereka renggang sebab Hamidah sukar menyesuaikan diri. Selang setahun mereka bercerai tanpa anak.

Hussain mendapati hidup membujang di KL itu ada faedahnya. Kongsi rumah dengan pekerja hotel yang lain menjimatkan belanja. Makanan lebihan hotel yang sedap-sedap dan mahal-mahal setiap hari sehingga naik muak. Jadi gajinya hampir tak berusik. Maka simpanannya bertambah sehingga pada suatu hari dia agak terperanjat jumlahnya lebih RM10,000.

Glamour bekerja di KL kian menghilang. Sesak jalan raya, bahang ekszos, banjir kilat, shif yang tak menentu, teman bilik yang cepat tangan dan mimpi berulang-ulang mengenai Sungai Tembeling yang nyaman dan sunyi, membuat Hussain berfikir untuk balik ke kampung, menjadi pembawa bot kembali. Tambah pula, pelancong Eropah dan Jepun yang dia layan selalu bercakap memuji betapa cantiknya Sungai Tembeling, betapa luar biasanya Taman Negara.

Dengan senyap-senyap Hussain pulang ke Jerantut dan membeli sebuah bot berenjin 40 kuasa kuda. Senang saja Hussein menyesuaikan diri dengan kerja lamanya; ramai penumpangnya masih yang itu-itu juga, mesra, yakin, ramah. Meskipun Hussain sedikit saja menceritakan mengenai pengalamannya bekerja di KL, orang sepanjang Sungai Tembeling tahu dia sudah balik, pembawa bot yang boleh diharap.

Membawa balik 15 perkhemah dari universiti Pulau Pinang dari Kg. Teluk Kedembar ke Kuala Tahan, Hussain mengambil masa lebih lima jam seperti sepatutnya. Kumpulan penumpang kerap sangat suruh dia berhenti untuk mengambil gambar himpunan pokok ini dan itu, batu merah, hijau dan merah, malah sekumpulan gajah liar yang menyeberang sungai dekat Jeram Panjang.

Sesudah penumpang mendarat, maka Hussain berpatah balik ke rumahnya di Kampung Batu Pecah. Waktu sudah senja maka dia berhenti di restoran terapung untuk makan terlebih dahulu. Apabila dia kembali dia ternampak ada seorang penumpang duduk di haluan botnya. Cahaya lampu dari tingkap restoran hanya menunjukkan sebuah bentuk yang membongkok, tangannya berehat di atas sebuah beg.

Hussain patuh kepada adat di Sungai Tembeling, yakni, pemandu bot tidak bertanya penumpang dia mahu ke mana. Hanya apabila sampai di kampungnya baru dia suruh pemandu menyusurkan botnya ke tebing.

Hussain semacam cam bentuk tubuh itu tapi dia diam. Dan tiga kali dia membawa botnya dekat ke restoran terapung supaya lampu-lampu elektrik ltu dapat menerangkan bentuk tubuh itu. Seorang tuan punya restoran itu kebetulan menyuluh lampu picit berkuasa tinggi ke arah Hussain, dan kemudian ke arah penumpangnya yang tinggal. Apa dia sangka itulah yang benar: Sikli.

Perjalanan selama lima jam itu senyap. Hussain bergantung kepada nalurinya untuk mengikut kawasan air yang dalam. Kadang-kadang dia menyusur ke tebing, terutama di kawasan yang agak dangkal. Untuk mengelak tunggul atau kumpulan kerbau yang berkubang, dia kerap juga memesong sampai ke tengah sungai hingga terus ke tebing yang di sebelah.

Beberapa kali botnya merintasi air yang cetek sehingga enjinnya tersangkut. Maka Hussain pun melompat turun meskipun di tengah sungai. Tapi airnya hanya setakat lutut. Sikli beranjak pun tidak untuk menolong menolak bot.

Hussain tidak kisah sangat dengan air cetek sebab bahayanya kurang.Yang berbahaya ialah kawasan jeram waktu malam sebab tak nampak batu: mula-mula Jeram Nusa, kemudian Jeram Dua, Jeram Teras, Jeram Jeduri, Jeram Panjang. Hussain perhatikan dengan geli hati, Sikli tetap mengangkat kedua-dua tangannya, terkapai-kapai, tak ubah seperti dulu.

Hussain menyumpah di dalam hati, tapi entah kepada dirinya entah kepada Sikli. Satu sudut hatinya ingin membalas dendam; satu lagi sudut menolak. Dia tak punya sebab untuk membawa Sikli balik kampung; tapi adat mengajar dia pantang meninggalkan penumpang. Otaknya puas berpulas memikirkan, tentu sekali keputusan yang dibuat oleh Mak Kumah dan Pak Sayap dahulu itu adalah wajar. Jatam legam.

Hussain enggan menjadi pendendam.

Hussain yang sekarang bukan Hussain yang dulu.

Hati Hussain sekarang sudah berubah meskipun kulitnya tidak.

Sampai di Jeram Kol, kabus tebal menurun, angin kencang hujan menumpah tiba-tiba air naik mendadak, arus dari hulu semakin keras. Pukulan ombak di batu-batu Jeram Kol tinggi mengganas, berbuih-buih, memercik-mercik. Hussain memutar minyak melawan arus yang memperlahankan botnya. Datang sebaris gelombang yang besar yang terus menelan haluan bot sehingga ia terpesong. Dinding bot tergeser dan kemudian terlanggar barisan batil. Depan bot terlambung dan terjatuh semula. Lunas bot terhempap ke atas ketul batu besar yang runcing. Bingkai bot di tengah pecah dua.

Hussain nampak Sikli terhumban ke dalam air yang bergelora. Sikli menjerit meminta tolong dengan kedua-dua tangan terangkat-angkat ke atas. Kemudian dia tenggelam tapi timbul semula, meraung:

"Tolong Hussain. Maafkan aku,"

Hussain juga tergelincir tapi tangannya menggenggam pemutar minyak. Hussain terasa tangan Sikli meraba lengannya yang basah dan licin itu, membiarkan saja tanpa membalas genggaman. Tangan Sikli lucut dan dia menggelepar dan terus hanyut.

Hussain tersandar pada dinding batu. Dia kenal sangat Jeram Kol, yang paling dalam ialah setakat dada, biar pun ombak dan arus menggila. Dengan mudah saja Hussain menyeret dan mengangkat enjinnya ke tebing yang selamat, diikatnya pada dahan sepohon ara.

Sikli terdampar ke tebing leper batu di tengah sungai di sebelah bawah sedikit. Dia ketakutan, menggigil-gigil kesejukan, menangis meminta Hussain menolong dia. Dia menjerit-jerit mengaku berulang kali dia tak pandai berenang.

Hussain lega sebab Sikli tak lemas. Dia membiarkan Sikli melolong sampai matahari terbit pagi esoknya. Hussain baru pasti datar batu tempat Sikli mencangkung memeluk lutut menangis terisak-isak itulah tempat dia berteduh dalam tragedi ayahnya meninggal dulu. Dengan hati yang cekal, Hussain mengaku bahawa memang dia lain dari yang lain, ingin menyelamatkan bukan memusnahkan musuhnya. Hussain pun turun ke dalam air  dan berjalan ke batu itu, memegang tangan Sikli, macam abang membimbing adik. Dengan mata terbeliak Sikli mengikutnya ke tebing, mengharung air sedalam lutut.

Monday, November 23, 2015

Nostalgia cinta pena

Oleh Osman Dol

I KISAH itu amat menakutkannya.Amat menggerunkan. Sesungguhnya dia tidak mahu kehilangan Salmah. Walau apapun anggapan orang, Salmah tetap kekasihnya. Dia ingin memastikan Salmah sentiasa dalam ingatan dan impiannya.

Suman mengingati kembali detik-detik lampau yang pernah dilalui dan dirasainya.

Teringat dia sebuah cerpen terjemahan dari India yang pernah dibacanya pada awal 1960-an dahulu di dalam sebuah majalah. Kisah seorang suami yang hodoh rupanya, beristerikan seorang wanita rupawan. Kulitnya lembut dan halus. Rambutnya terurai segar. Sesungguhnya suami yang hodoh dapat menikmati sepenuhnya kejelitaan isteri.

Walaupun jelita, tetapi isteri itu buta kedua-dua belah matanya. Buta itu terjadi kerana diserang penyakit mata ketika berumur 12 tahun.

Ada doktor sanggup mengubati mata isteri. Harapan untuk sembuh terlalu cerah, kata doktor. Tetapi suami tidak rela mata isterinya diubati. Dia amat senang dengan keadaan isterinya yang begitu.

Kalau dia boleh melihat, dia tentu lari dariku. Dia tentu tidak sanggup melihat wajahku yang hodoh ini. Dia akan terperanjat. Rupaku bagaikan seekor beruk. Dia tentu lari. Lari dariku, sedangkan aku terlalu menyayangi dan menyintainya.

Begitulah yang terlintas pada hati suami apabila seorang doktor menyatakan hasrat untuk mengubati sang isteri.

Suman termenung panjang setelah membaca kisah itu. Tetapi kisahnya dengan Salmah berlainan sedikit. Salmah Bilal kekasihnya tidak buta. Kedua-dua matanya celik dan cantik.

Tetapi, yang peliknya antara dia dan Salmah tidak pernah bersua. Tidak pernah bertentangan mata. Cintanya hanya di hujung pena tetapi terlalu intim.

II SEMUA itu terjadi setelah Suman gagal melanjutkan pelajarannya ke tingkatan IV. Dia hanya mendapat pangkat `C' peperiksaan Lower Certificate of Education (LCE).

Tetapi cita-cita Suman tinggi. Dia mahu menjadi seorang penulis terkenal. Kebetulan dia memang ada sedikit bakat menulis. Di samping itu dia ingin menjadi seorang yang berpangkat besar. Cita-citanya yang besar itu tidak pernah luput dari hatinya.

Setelah gagal dalam persekolahannya, Suman bekerja sebagai penoreh getah. Di samping menoreh dia menulis mengenai kegiatan belia di kampungnya. Sering namanya tersiar dalam majalah dan akhbar.

Umurnya baru mencapai 15 tahun waktu itu. Dengan pertolongan seorang rakannya, Suman dapat bekerja di pejabat Majlis Perbandaran Melaka. Dia diterima bekerja sebagai budak pejabat. Suman amat gembira. Dia mula memasang angan-angan. Kalau ada orang bertanya mengenai kerjanya, dia mengatakan yang dia bekerja sebagai kerani, bukan budak pejabat.

Waktu itu ada sebuah majalah yang ramai peminatnya di kalangan remaja. Suman yang memang berbakat menulis, lalu menulis mengenai dirinya dalam majalah itu. Hebat. Gambar dan biodatanya tersiar. Kononnya dia bekerja sebagai penolong pengurus di pejabat itu. Wajahnya nampak begitu ceria. Alamatnya lengkap.

Tengok gambar memang hebat. Tetapi tidak siapa tahu Suman itu cacat. Kaki kirinya kecil sedikit dari kaki kanannya. Dia kelihatan pincang sedikit apabila berjalan.

Jawatan pun hebat. Penolong pengurus. Jawatan itu tidak ada di jabatan itu. Tukang urus kerusi meja, buang sampah dan hantar surat memang ada. Itulah tugas dan kewajipan budak pejabat.

Dia berbuat begitu, kononnya, biar pembaca majalah itu kagum kehebatannya. Akan banyaklah remaja menghantar surat padanya.

Tepat sangkaan Suman. Dia menerima beratus-ratus pucuk surat dari remaja. Sehingga dia tidak terlayan. Cuma beberapa pucuk surat saja yang sempat dibalasnya. Antara surat yang di balas ialah surat dari Salmah binti Bilal. Orang Bentong, Pahang.

Hubungan Suman dengan Salmah berkekalan. Berpanjangan. Berbalas-balas surat. Beberapa orang sahabat penanya yang lain telah terputus. Suman tidak berminat dengan sahabatnya yang lain. Kecuali Salmah.

Suman sendiri rasa hairan kenapa dia tertarik dengan surat Salmah. Setiap surat dari Salmah disimpan dengan baik. Kalau Salmah lambat membalas suratnya, surat-surat lama itulah diulang membacanya. Dia membacanya dengan tidak berasa jemu.

Salmah telah mengirimkan sekeping gambar kepadanya. Suman sayang gambar itu. Disimpannya baik-baik di bawah kertas di dalam laci almari. Apabila sunyi dan kesepian gambar itu menjadi teman Suman.

III ENTAH kenapa, setelah dua tahun berutus-utus surat, tiba-tiba hati Suman sudah terpikat kepada Salmah. Rupa-rupanya Suman tidak bertepuk sebelah tangan. Salmah juga demikian. Masing-masing melahirkan isi hatinya melalui surat.

Walaupun Suman tidak pernah melihat Salmah, tidak pernah mendengar suaranya, cinta dan kasihnya kian mendalam. Inilah kali pertama dia jatuh cinta dengan seorang gadis dalam usianya yang hampir 17 tahun itu.

"Mah tidak ada yang lain, melainkan abang. Mah harap abang akan menunaikan segala janji," demikian pernah diungkapkan Salmah menerusi mata penanya.

"Abang Sumanlah kekasih Mah dunia dan akhirat," Salmah meneruskan kata- katanya.

Suman menarik nafas lega menatap warkah Salmah yang berwarna biru. Memang begitulah sejak dulu lagi. Salmah menggunakan kertas biru. Salmah tidak akan menggunakan mesin taip menulis kepadanya. Melainkan dengan menggunakan tulisan tangan saja.

Kadang-kadang Suman mencebik dirinya sendiri. Jujurkah aku? Tanya Suman pada dirinya sendiri. Tergamakkah aku hendak pergi ke Pahang untuk menemui Salmah? Tidakkah Salmah akan kecewa apabila ternampak kecacatanku? Apa kata Salmah apabila mengetahui dia sebenarnya hanya seorang budak pejabat, bukan penolong pengurus?

Sampai bila aku hendak berpura-pura begini sedangkan hatiku terlalu menyintainya?

Dan kalau Salmah sendiri datang mencariku di sini bagaimana? Tanya Suman lagi pada dirinya sendiri. Lagi parah. Parah. Beranikah aku berhadapan dengannya?

Ooooooo, ke mana aku hendak lari? Ke mana?...

Pening juga Suman memikirkan hal itu.Surat-menyurat terus berjalan seperti biasa.

IV "ABANG, Mah telah diterima untuk menjalani latihan guru di Maktab Perguruan Perempuan Melayu Melaka."

Suman rasa takut sendiri. Jantungnya berdenyut-denyut.

"Mah akan sampai awal tahun depan. Abang bolehlah datang jumpa Mah di maktab itu. Bila masa cuti, Mah boleh juga datang ke rumah abang. Kata orang, antara maktab dengan Kampung Durian Tunggal cuma 10 batu saja. Jadi, bolehlah selalu kita berjumpa." begitulah ungkapan pena Salmah seterusnya.

Suman sudah mula risau. Keluh-kesah. Duduk salah berbaring pun salah. Pecahlah semua tembelang aku, bisik Suman dalam hatinya.

Suman menyepi sekian lama. Surat terakhir Salmah itu tidak dijawab. Dia jadi pening. Di pejabat dia selalu ditegur oleh ketuanya.

"Termenung saja, dah mabuk cintakah?" demikian Suman ditegur oleh ketua pejabatnya.

V "KENAPA abang membisu? Kenapa tidak menjawab surat dari Mah tempoh hari? Tidak sukakah Mah datang ke Melaka? Kalau malas nak tulis surat, telefonlah Mah. Nombor telefon di maktab ini 2461. Telefonlah waktu petang atau malam." itulah surat pertama Salmah sejak beberapa hari menjejakkan kakinya di bumi Melaka.

Antara cita dan takut, antara kasih dan gerun - Suman menjawab juga surat Salmah itu. Kali ini surat itu dialamatkan di Melaka, tidak lagi di Pahang. Nada suratnya tetap berabang dan bersayang. Tetapi tidaklah menjela-jela seperti sebelumnya.

"Mah masih baru di sini. Peraturan maktab tidak membenarkan Mah keluar. Dan buat beberapa bulan ini, Mah juga tidak dibenarkan ditemui oleh sesiapa. Kecuali ibu atau bapa," begitulah coretan Salmah dalam suratnya yang berikut.

Lega sedikit hati Suman. Dia kelihatan ceria kembali. Surat-suratnya kepada Salmah mula menjela semula. Bukan itu saja, waktu petang atau malam, Suman mengambil kesempatan menelefon Salmah.

Pertama kali mendengar suara Salmah, Suman bagaikan sudah dapat menangkap hati dan budinya. Suaranya lembut, hatinya juga tentu lembut. Tentunya Salmah, seorang gadis yang amat pengasih dan penyayang.

Lalu bertambah kuatlah terpikatnya Suman kepada Salmah.

VI BILA sudah habis tempohnya, Salmahpun mempelawa Suman datang ke maktab untuk bertemu pandang. Suman jadi takut kembali. Kelemahan dan kekurangan dirinya semakin dirasakan.

Semakin menekan dan menghimpit dirinya.Berbagai-bagai alasan diberikan Suman untuk mengelak dari bertemu dengan Salmah. Sedangkan Salmah begitu mengharapkannya.

Hari demi hari, sudah lebih setahun Salmah menjalani latihan di maktab itu. Suman masih liat untuk menemuinya. Dia menemui Salmah hanya dengan surat dan telefon.

Sampai bila aku boleh berdalih? Tanya Suman pada dirinya sendiri.

"Abang," kata Salmah dalam telefon ketika Suman menghubunginya.

"Hah, kenapa?" tanya Suman.

"Dua hari lepas, ada kawan-kawan Mah ke pejabat abang. Mah dah tunjukkan gambar abang itu dengan kawan Mah. Tapi kata kawan Mah..."

"Apa katanya?" potong Suman.

"Katanya, rupa yang macam itu budak pejabat."

"Dia silap orang agaknya," Suman memotong cakapnya segera.

"Kalau tidak, biar Mah datang jumpa abang di pejabat itu," kata Salmah.

"Boleh juga, tapi buat sehari dua ini abang bercuti." Suman memberi alasan.

"Kalau tidak Mah ke kampung abang?"

"Biar dulu, nanti orang kampung tengok tak baik."

"Ada-ada saja abang ini." kata Salmah dengan nada kecewa.

Suman makin dicerut kegelisahan. Sampai bila dia boleh lari dari Salmah? Sampai bila dia boleh mengelak. Lambat laun tembelangnya akan meletup juga. Cinta dan kasih sayangnya kepada Salmah pasti akan berkecai.

"Aku tidak mahu berpisah dengan kau Salmah," kata-kata itu sering menjentik di hati Suman.

VII DALAM keadaan yang terdesak begitu, Suman tidak punya pilihan lain. Melainkan berhenti dari jabatan itu. Keesokan harinya, awal-awal lagi Suman sudah ke pejabat. Dia menaip surat letak jawatan serta-merta. Sebaik-baik ketua pejabatnya sampai, surat peletakan jawatan itupun dihulurkan. Alasannya ialah kerana hendak mencari kerja lain di Singapura, sedangkan umurnya waktu itu sudah hampir 18 tahun.

Suman sebenarnya tidak pergi ke Singapura. Dia pergi ke Tebung Estet di Negeri Sembilan. Kebetulan, abang saudaranya bernama Aman bekerja di situ. Dan Suman diterima bekerja di estet itu sebagai penoreh getah.

Dari Tebung Estet ke maktab itu agak jauh sedikit. Suman mula menghubungi Salmah semula. Percintaan menerusi surat berjalan semula seperti biasa. Di Tebung Estet, Suman masih tidak mahu mengalah. Dia mengatakan kepada Salmah bahawa jawatannya sebagai penolong pengurus di estet itu. Lagi hebat.

Tahun 1964 adalah tahun terakhir Salmah di maktab itu. Setiap surat cintanya, dia sentiasa mengajak Suman berjumpa. Didesaknya sungguh- sungguh. Kalau tidak katanya, dia akan mencari Suman di Tebung Estet.

Suman betul-betul terdesak. Dia tidak tahu hendak lari ke mana lagi. Diceritakan masalahnya kepada Aman, abang saudaranya.

"Kau telah banyak berbohong," kata Aman. "Tapi tidak mengapa. Kalau dia betul-betul cintakan kau, tentu dia sudi memaafkan. Cinta tidak mengenal cantik atau buruk. Kalau hati sudah suka, semuanya indah saja. Baliklah untuk pergi berjumpa dengannya."

VIII SUMAN mengalah dengan nasihat itu. Dia segera balik ke kampung. Hari itu kebetulan hari Ahad. Pagi-pagi lagi dia menelefon Salmah.

Kita berjumpa di depan panggung Rex. Tepat jam 12 tengah hari abang masuk ke pondok telefon depan panggung itu. Abang pakai seluar hitam baju putih. Kita tengok wayang selepas itu," kata Suman memberikan janjinya.

Suman menepati janjinya. Tepat jam 12 tengah hari dia masuk ke pondok telefon itu. Sebaik-baik dia masuk Salmah pun sampai. Dia dan Salmah bersaingan menuju ke panggung wayang.

Suman sudah tidak ingat filem apa yang ditontonnya hari itu. Dia cuma ingat filem Inggeris. Tajuk dan pelakonnya dia sudah lupa.

Di dalam panggung, Suman tidak berkata apa-apa kaki dan tangannya terasa sejuk. Anggotanya menggeletar. Dia malu. Dia takut.

"Kenapa abang suka cakap bohong?" tanya Salmah.

"Maafkan saya," sahut Suman.

"Baiklah, lain kali jangan cakap bohong," ujar Salmah pula.

Suman membisu saja.  Wayang belum habis Suman sudah keluar. Dia tinggalkan Salmah sendirian. Dia mengatur langkah panjang menuju ke perhentian bas.

IX SELEPAS pertemuan itu, Suman terus balik ke Tebung Estet. Dia balik bersama dengan harapan agar Salmah sudi meneruskan hubungan dengannya.

Surat Suman yang pertama selepas pertemuan itu, di balas oleh Salmah. Irama surat itu sudah sedikit berubah. Salmah memanggil Suman dengan panggilan Encik Suman, bukan abang Suman seperti biasa.

Surat kedua, ketiga, keempat dari Suman sudah tidak ada jawapan lagi. Surat kirimannya terus mati dan kaku. Tidak ada pujuk rayu dan kata mesra yang lahir dari hujung pena Salmah. Segala-segalanya sudah berakhir.

Apa yang amat menakutkan Suman sudah terjadi. Salmah yang amat dicintainya sudah lari meninggalkannya. Semuanya kesan dari pertemuan itu.

"Biarkanlah isterimu buta selama-lamanya," kata hati kecil Suman terhadap watak suami dalam cerpen yang pernah di bacanya.

X "KALAU kau setuju, abang nak jodohkan kau dengan Faridah. Faridah binti Lebai. Dia orang Pahang juga," kata abang Amannya memberi cadangan.

"Faridah yang buta itu?" soal Suman.

"Betul," angguk Aman. "Dia cantik walaupun buta. Dia pandai memasak. Pandai mengemas rumah. Ilmu agamanya tinggi. Dia boleh membersihkan hati kau yang selalu meninggi itu."

Suman bersetuju walaupun kata-kata abang Aman menyinggung sedikit perasaannya. Kisahnya sudah hampir sama dengan kisah dalam cerpen yang pernah ditatapnya itu. Allah menentukan jodohnya dengan Faridah binti Lebai.

XI "KAK Salmah kawan abang dulu itu, sepupu Dah. Masa kita kahwin dulu, dia pun ada bertandang ke rumah abang. Dia menasihatkan abang suruh belajar lagi. Kalau abang ada kelulusan, tentu abang boleh jadi penolong pengurus," kata Faridah setelah beberapa bulan menjadi isteri Suman.

Tersentak juga Suman mendengar berita itu. Tetapi tidak diambil berat sangat. Cinta dan kasihnya sekarang hanya kepada Faridah. Salmah sudah tiada lagi dari ingatannya.

"Kata Kak Salmah lagi"

"Apa katanya?" potong Suman.

"Kak Salmah ada kawan seorang doktor. Pakar mata. Katanya, doktor itu boleh mengubatkan mata Dah."

"Abang tak rela. Abang tak rela berpisah dengan kau. Abang lebih senang dengan keadaan kau yang begini," ujar Suman bersungguh-sungguh. Kata- katanya itu adalah muktamad.

Tetapi nasihat Salmah menyuruh dia belajar dipatuhi. Tahun 1966 dia lulus Ujian Kelayakan. Tahun 1968 dia lulus Malaysia School Certificate (MCE). Selepas lulus MCE. Dia diterima menjadi kerani di estet itu. Dan pada tahun 1970 Suman lulus peperiksaan Higher School Certificate dengan mendapat sijil penuh. Suman boleh masuk mana-mana universiti waktu itu sekiranya dia mahu. Bagaimanapun, selepas enam bulan kejayaan itu, Suman diterima menjadi penolong pengurus di Tebung Estet.

Dua puluh tahun kemudian Suman sudah menjadi seorang pengurus penuh. Dia bersyukur dengan setinggi-tinggi kesyukuran kepada Allah. Dan dia berterima kasih kepada Faridah yang memberi perangsang kepadanya.

Dalam bidang penulisan juga Suman berjaya. Tidak kurang daripada 15 novel dihasilkan sejak berkahwin dengan Faridah.

Rumah  tangganya  bahagia. Allah mengurniakannya enam anak. Namun, dia masih tidak bersetuju mengubati mata isterinya yang buta itu.