Pages

Wednesday, January 07, 2015

Pengkhianat

Oleh Putu Wijaya

SESEORANG pensiunan Jeneral berbintang lima, berbicara di depan sejumlah tetamu. Dia menceritakan saat-saat yang kritis. Ketika dia harus memutuskan melakukan pengeboman atas sebuah sasaran, di masa perang yang lalu, terhadap pemukiman orang yang ada di depannya itu.

"Semua orang menunggu perintahku hari itu. Kalau aku bilang kerjakan, tak ayal lagi seluruh pesawat akan dikerahkan dan tempat pemukiman kalian itu akan menjadi lautan api dalam tempoh beberapa detik. Dan kalau itu terjadi, aku kira hari ini kita tidak bisa berhadapan lagi. Aku tak akari bisa lagi melihat wajah-wajah kalian yang gemuk-gemuk dan merah kerana sihat. Aku tidak akan melihat lagi kalian di sini. Seluruh daerah yang kalian tempati, tidak akan pernah berwujud. Kawasan ini akan yang mungkin selama ratusan tahun tidak akan mungkin memberikan kehidupan".

Jeneral itu berhenti sejenak. Dia mengeluarkan sapu tangannya, lalu batuk-batuk. Kemudian dia memandangi semua orang yang sedang tertib mendengarkan seluruh yang hendak dimuntahkan dari mulutnya.

"Hanya Tuhan yang tahu, mengapa aku membuat keputusan yang kontroversil hari itu. Hanya Tuhan yang tahu, mengapa hari itu tiba-tiba aku merasakan ada kekuatkan lain yang tumbuh dalam diriku. Tiba-tiba saja aku tidak peduli apa yang akan terjadi. Tiba-tiba saja aku tidak acuh lagi terhadap seluruh perjalanan kerjayaku. Aku tidak peduli lagi terhadap semua briefing, rencana dan rapat-rapat yang telah ratusan kali digarap. Segala siasat yang sudah diatur dan dijalankan perlahan-lahan sejak puluhan tahun yang berpuncak pada hari itu. Aku tiba-tiba menjadi seorang pengkhianat perang".

"Aku putuskan hari itu sesuatu yang amat berbeza dari apa yang dikehendaki orang. Aku katakan kepada mereka itu, tidak. Jangan. Perang harus berhenti. Perang sudah terlalu banyak memakan korban. Darah sudah terlalu banyak tumpah. Bumi kita sudah kelelap di dalam kesengsaraan. Aku tak mampu lagi melihat bumi menangis lebih lama. Aku ambil risiko untuk menghentikan perang".

"Kalian bisa membayangkan, betapa gegeranya hari itu. Semua orang terkesima. Mereka tercengang memandang kepadaku. Ada apa ini, kata mereka. Siapa yang sudah menyuap jeneral kita. Mengapa rencana yang sudah menelan duit milyar dan tiba-tiba dikesampingkan hanya dengan beberapa perasaan sentimental. Mereka semua marah. Telefon berbunyi. Para jenderal yang lain menggebrak meja dan memaki-maki. Dan aku langsung diamankan hari itu juga. Baju seragamku dicopot. Tanda pangkat dan segala bintang jasaku di masa lalu dicampakkan. Dan aku diseret ke meja hijau, dituduh sebagai seorang jendral yang sudah membuat sabotaj. Hukumanku tak pelak lagi, mati ditembak saat itu juga".

Jeneral itu berhenti lagi. Dia meraih gelas air putih di depannya. Meneguk isinya perlahan-lahan. Lalu mengusap mulutnya. Setelah itu dia melanjutkan.

"Tapi yang jelas, kerana penundaan yang aku lakukan, perang itu terhenti sebentar. Dan kerana terhenti, orang yang kalap mahu berperang kembali mencuba berfikir. Mereka menghentikan amukan perasaannya. Pikiran warasnya kembali. Musuh tidak lagi musuh, tapi adalah juga sejumlah orang seperti dia. Dengan perkataan lain, kemanusiaan mencuit kembali. Rasa yang sudah lama dikesampingkan kerana kepentingan ekonomi, kepentingan politik dan strategi militeri itu, muncul begitu kuat. Dia begitu lantang. Suratkhabar kemudian mentupnya lebih lantang, sehingga dia bagaikan angin topan, mengoyak-ngoyak hati semua orang. Suara perdamaian itu menjadi amat dahsyat ketika orang turun ke jalan dan menyerukan dengan yel-yel dan bahkan juga sedikit kerusuhan, supaya perang ditunda, kalau bisa dikubur untuk selama-lamanya".

"Kalian tahu sendiri kemudian apa yang terjadi. Bom itu tidak pernah dijatuhkan. Dan kalian masih bisa bernafas sampai sekarang. Kalian masih bisa menikmati rahmat Illahi. Matahari terbit dan tenggelam. Kalian masih terus bisa menikmati hidup dengan perasaan yang lain, Dengan cinta yang sudah mengganda. Hati nurani sudah bicara. Para pemimpin politik tumbuh inspirasinya untuk mencari jalan lain. Dan kerana fikiran sudah waras kembali, jalan pun terbuka. Lalu kita berjabat tangan. Berang ditutup dengan perdamaian yang mesra. Dan itulah sebabnya kita bisa berjumpa hari ini".

Jeneral itu memperbaiki kerah bajunya. Dia juga mengelap bintang jasanya. Lalu mengelus kumisnya. Mengeluarkan sebuah cerutu. Salah seorang yang hadir dengan berdiri sambil mengacungkan api. Tak lama kemudian udara di ruang itu didamprat oleh bau tembakau yang berat.

Lamat-lamat dari arah lobby terdengar suara piano. Membawakan sebuah lagu tua yang indah dan romantis. Semua orang menunggu dengan sabar, apa lagi yang hendak diucapkannya.

Setelah menyedut beberapa kali lagi, maeon tua itu meneruskan.

"Jadi peperangan tak pernah berlangsung perdamaian telah menang kembali, walaupun sempat terancam. Semua orang bergembira. Semua orang bersyukur. Semua orang memuji kebesaran Tuhan. Tetapi ada yang kalian lupakan. Tak seorang pun dari kalian yang ingat apa yang terjadi padaku. Tak ada di antara kalian yang percaya bahawa semuanya itu mulai dariku. Tak ada yang menanyakan dari siapa munculnya hembusan kemanusiaan itu. Dan aku tidak pernah mengerti mengapa sampai terjadi seperti itu".

"Setelah diadili, dengan tanpa banyak cincong, aku dinyatakan bersalah. Hukuman yang aku terima tidak tanggung-tanggung, kerana keadaan sedang gawat. Dan harus dilaksanakan hari itu juga. Hari itu juga mereka menyeretku ke lapangan eksekusi untuk ditembak".

"Terus-terang, aku takut. Aku gentar. Aku tidak pernah takut pada perang, aku tidak pernah takut pada orang mati sebelum itu. Kerana perang selalu jauh dari mejaku dan orang mati, selalu orang lain dan selalu di lapangan yang jauh dari meja kerjaku. Tetapi ketika kematian sampai di hujung hidungku, aku jadi keselek juga. Aku jadi terpana. Bayangkan. Seorang jeneral yang hebat seperti aku, sebuah mesin perang, tiba-tiba menciut dan menangis di dalam hati. Bahkan terkencing-kencing ketika diseret ke lapangan tembak, setelah dituduh berkhianat pada perang".

"Memang aku nampak gagah. Aku kelihatan tetap berjaya dan angkuh. Tak seorang pun melihat penyesalan dan kekhuatiranku ketika berjalan ke depan tembok itu. Tetapi aku sendiri merasakan betapa aku hampir saja mati. Aku ingin berteriak minta ampun. Dunia terasa begitu indah. Burung-burung lucu. Dan angkasa yang begitu biru, tempat aku biasa melepaskan pesawat-pesawat untuk melakukan pengeboman, kini bagaikan sebuah dataran yang indah. Aku tak mau meninggalkan semua itu. Tapi aku harus pergi".

Jeneral itu kemudian mengeluarkan dompetnya. Dia membukanya dan mengeluarkan sebuah foto. Dipandanginya foto itu. Lalu dia mengusap air matanya yang tiba-tiba jatuh di sudut mata kanan. Kemudian dia menarik nafas panjang. Selanjutnya suaranya terdengar bergetar.

"Tapi aku seorang jeneral. Aku tidak boleh menangis. Dan aku tidak boleh menyesal. Sebab apa yang aku lakukan, jauh lebih besar daripada apa yang pernah aku lakukan. Apa yang kuputuskan jauh lebih berat daripada apa yang pernah aku putuskan. Memutuskan perang sudah aku lakukan berkali-kali. Memutuskan damai dan yang kemudian mengakhiriku sebagai pengkhianat itu, baru sekali kulakukan. Dan itu nampaknya yang terakhir. Tidak. Aku tidak boleh menangis kerana semua itu, meskipun semuanya menyebabkan dunia ini kemudian gelap selama-lamanya, hitam selama-lamanya, musnah untuk selama-lamanya untuk diriku. Tapi tidak untuk kalian. Tidak untuk kamu semua. Angkasa yang sirna itu, tetap terbentang lebar untuk orang lain. Bumi yang hijau itu tetap terbentang untuk orang lain. Dia hanya berakhir untukku seorang. Dan itu adalah karya yang mesti membuatku bangga".

"Dengan perasaan seperti itu, ketakutanku hilang. Memang aku akan mati sebagai pengkhianat. Tetapi aku yakin bahawa pengkhianatanku itu, pembelotanku pada perang akan kalian nikmati. Lebih baik seorang menjadi pengkhianat daripada berjuta-juta orang mati tak berguna dan beberapa orang menjadi pahlawan di dalam sejarah atas berjuta-juta nyawa yang sia-sia. Lalu aku berdoa".

"Kulihat di depanku balasan muncong senjata. Kulihat wajah serdadu-serdadu yang masih belia dan pantas menjadi cucuku. Kulihat watah-wajah generasi masa datang yang sebentar lagi akan menjadi pembunuh tanpa aku sedari. Dan hatiku semakin berani, semakin yakin. Harus ada yang berani melakukan pengkhinatan ini. Harus ada yang berani menanggung semua ini. Kerana kalau tidak, begitu banyak yang akan terjadi. Begitu panjang buku sejarah akan merah oleh darah. Padahal kesemuanya bisa diakhiri oleh sebuah pengkhianatan".

Jeneral itu memandangi semua orang. Tak seorang pun yang berani bicara. Semua orang terharu.

"Waktu itu aku berpikir, alangkah sulitnya menjadi pengkhianat. Kerana kita sejak kecil sudah dibuai oleh nyanyian perang. Kita sudah dididik untuk menjadi pahlawan. Kita sudah dijadikan perajurit-perajurit yang anti perdamaian. Diperlukan bukan saja keberanian, tetapi juga inspirasi dan juga kenekatan untuk menjadi pengkhianat, ternyata!"

"Aku tidak tahu, kenapa aku yang sudah melakukannya. Kenapa bukan orang lain. Bukan jeneral yang lain. Bukan pemimpin politik yang lain. Aku tak tahu, dari mana datangnya suara itu. Kenapa aku terpilih menjadi pengkhianat. Satu-satunya yang dengan amat takut kulakukan, tetapi satu-satunya yang tak akan pernah kusesali dalam seluruh sejarahku".

Jeneral itu kemudian memandang kembali foto di depannya. Kemudian dia membalikkan foto itu, terbeber ke hadapan setiap orang. Potret itu bagaikan sebuah tembakan yang menyengat. Bagaikan sebuah bom yang menghancurkan kebisuan yang sejak tadi keras membeku. Semua orang tiba-tiba mengaduh. Semua orang menangis. Semua orang berseru tak dapat lagi menahan dirinya.

Di depan mereka ada foto seorang lelaki yang baru saja tertembak mati oleh regu penembak. Dia terlantar di atas lapangan seperti bangkai seekor merpati yang tersambar oleh petir. Dia teronggok sebagai daging sisa-sisa yang sebentar lagi membusuk. Tetapi sosok itulah yang telah membuka tutup pintu kehidupan, sehingga masih berjalan terus. Hingga kereta kehidupan masih tetap melaju ke masa depan sampai sekarang. Semua orang menangis tersedu-sedu.

"Mereka menembakku hari itu sebagai pengkhianat", kata jeneral itu. "Dan mereka, mesin perang itu, akan terus menembak siapa saja yang akan menjadi pengkhianat. Tetapi suara tembakan itu, lebih memberanikan diriku lagi untuk meneruskan langkahku. Hingga hari ini, di bibir peperangan, aku kembali kepadanya. Aku mencuba berbicara kepadamu semua. Aku cuba mengundang kehadiran, keterpanggilan salah satu dari kalian, untuk menjadi seorang pengkhianat seperti aku. Siapa pun kamu".

Jeneral itu memasukkan lagi potret itu. Memasukkan dompet ke dalam sakunya. Dan seperti memasukkan mimpi itu ke dalam kesedaran.

"Itu saja yang bisa kukatakan. Aku hanya sebuah inspirasi. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku hanya bisa berkelebat sebagaimana dulu, seorang jeneral yang lain, yang pernah melakukan pengkhinatan pada perang, juga bayangan sebagai inspirasi ke hadapanku, sebelum aku menjadi pengkhianat perang. Aku ingin lebih lama lagi sebenarnya berbicara. Tetapi rupanya waktu yang diberikan kepada sebuah inspirasi, tak banyak. Selamat bekerja anak-anakku. Antara perang dan damai, semuanya tergantung dari kamu".

Dan jeneral itu pun lenyap. Semua orang kebingungan.

No comments: