Oleh Muhd Nasruddin Dasuki
SIAPAKAH yang memancung leher sang rama-rama itu sehingga terpercik darah di basah embun? Siapakah yang mencabut pedang nafsu tatkala burung sufi pembawa utusan - tiba-tiba saja berdarah di sayap dan tersungkur ke bumi?
Siapa yang melenjitkan anak panah itu dari busurnya tatkala matahari tengah malam tiba-tiba saja mengecupkan sinar redanya?
Bukankah anak panah ke sasar itu yang memancung leher sang rama-rama dan mengoyakkan sayap burung sufi itu?
Sepotong langit tiba-tiba mengoyak warna bulan menjadi suram tatkala sang rama-rama semadi di liang abadi dan burung sufi - kepatahan sayap terkapar di laut luka.
Tanpa rama-rama - seikat mawar sunyi redup di kebun tidak lagi seindah bunga kalijou.
Babak: Membabat Citra
Watak: Aku & Rama-Rama
Latar: Sebuah taman
Masa: Hampir senja
Aku bukan penangkap rama-rama, terpaku - seekor burung sufi merintih sengsara menatap dunia semakin kelam. Aku usung burung sufi dari lantai bumi, ke sebuah wakaf di taman. Luka di sayap cuba aku ubati. Aku mengunyah kelat pucuk daun sengganen muda (daun sengganen boleh menghentikan aliran darah luka) kemudian kulekap pada sayap terluka.
Aku: (Simpati sambil mengelus sayap burung sufi) Apabila kita memikirkan - tidak ada orang lain yang hidup selain kita, inilah yang berlaku pada kau. Sesiapa pun menjadi maharaja; sebilah senjata mematikan hak bersuara; segenggam kuasa menjadi lembing perkasa. Kita bukan barang pajangan!
Burung sufi: (Masih mengerang kesakitan - tapi masih mampu bersuara) Apalah salahku? Kalau tidak ada kebebasan di bawah sepotong langit, di manakah lagi kebebasan hidup yang sering kita laung-jeritkan?
Aku: (Merenung sepasang mata iba burung sufi menunggu reaksi) Kulihat tadi seorang pemburu, aku pasti dialah penyebab sayap kau terluka. Aku tidak tahu, dia manusia durjana, dia mahu meruntuhkan niat suci - pembawa utusan.
Burung sufi: (Penuh kehairanan) Aku hanya membawa utusan, apakah dia tahu rahsia utusan itu? Benarlah, sebaik saja utusan itu terlerai dariku, aku yakin dia yang menyambar utusan itu.
Aku: Rahsia benarkah isi utusan itu? Sehingga sepotong nyawamu menjadi taruhan?
Wajahmu daun sunyi, sepasang senyap. Seorang narsis menyimpan makna di saku siang (wahai pemburu ular bungka. Usah menyimpan
bau ketakutan dari ujung rambut. Senja jatuh
kau berpesta kunang. Kau putuskan benang air mataku
dengan tali embun - ketika senja berbau dupa.)
Suara memar burung sufi seolah-olah kata-kata mengubah menjadi apa saja. Lagu suwung menekan di jiwanya.
"Saudara, ditakdirkan saudara bertemu pemburu itu, khabarkan kepadanya: Nikmat Tuhan - milik sejagat. Bukan milik dia, bukan milik mutlak saya, tapi setiap kita berhak memilikinya tanpa ada rasa curiga sesama sendiri."
"Insya-Allah. Alam ini dicipta untuk kehidupan dan manusia khalifah-Nya. Justeru setiap yang bernyawa atau tidak, berhak menikmatinya. Atau akan kubalas perbuatannya terhadap kau burung sufi!"
"Jangan! Bukan hak kita untuk membalasnya. Meskipun itu wajar, tapi bukankah ada yang lebih berkuasa dari mereka? Yang empunya kuasa pun, kadang-kadang masih memberi peluang mereka menjala sedar."
Babak: Melihat Bisu
Watak: Aku & Diriku
Latar: Makam Sang Rama-rama
Masa: Ketika semuanya menjadi sunyi
Petikan kecapi tembang sunda Cianjuran mengiringi pembawa obor mengelilingi makam sang rama-rama. Aku, berpakaian serba putih, dan pembawa obor berhenti tunduk simpati atas nasib sang rama-rama.
Aku: Sejak bertahun diam di taman berbunga Kalijou ini, saat kepiluan ini kita kehilangan sang rama-rama. Apakah kita terfikir akan indah taman ini tanpa rama-rama? Tanpa Seri Sang Puteri mengecap wangi bunga? Lihatlah bunga-bunga telah layu, kewangian menjadi bisu - kekejaman mula memburu, saat terharu kita pun dibelenggu sekawah ragu. Tidak adakah jaminan kebebasan untuk hidup tidak berseteru?
Diriku: (Bangun membelakangi makam sang rama-rama dan menatap taman seri puteri menghijau). Sulitnya menghitung kekuatan - hidup menjadi berkaca sepanjang hayat. Tidak bertata kerama, hidup menjadi kendalia. Kita kembali mendengar rasa takut.
Aku: (Menarik nafas panjang sambil mengecap bibir) Kau fikir siapakah aktor utama yang menyebabkan sang rama-rama dan burung sufi menerima nasib sedemikian lara? Tidak mungkinkah si pemburu bisu yang acapkali memekik - sering ke sasar di taman larangan ini?
Diriku: (Kembali menatap wajah Aku) Sudah tentu pemburu bisu itu. Dialah yang gemar bermain dengan rama-rama. Bukankah rama-rama citra keindahan dan jelita alam?
Aku: Burung sufi? Mengapa dia harus menjadi mangsa?
Diri: Bukankah burung sufi - kesetiaan, kejujuran menyampai khabar dan tidak pernah dusta apa yang disampaikan? Inilah yang menyebabkan pemburu terasa terbabat citra. Keperkasaannya nyata ada saingan.
Aku: (Menggelegak amarah) Kalau begitu, ayuh kita ajari dia! Muzik haleakala perlahan-lahan didengar, dibarengi rasa amarah dan geram. Embun syanida yang jatuh dari langit tidak mampu menjirus amarah.
"...aku melihat seikat wewangian dari cendana
menggoncangkan tunggul yang satu ketika
kau pernah luruhkan daun-daunnya. Kita berlari mencari
rahsia Tuhan sambil membakar nyala nafsu api
di daerah ningrat."
- lihatlah lewat pendar warna pelangi
akan aku sidai mentari di ampai bulan
dan mengubah apa saja menjadi kata-kata
rama-rama tumbuh di mata iba
dan burung sunyi - burung sufi menjadi sepasang senyap.
(hai pemburu, kita bersilat lidah - siapa sebenar
jaguh di pelana kesatria).
Aku dan diriku meninggalkan makam sang rama-rama dengan perasaan kaleleban. Kami harus mencari aktor utama yang menyebabkan pembunuhan rama-rama dan burung sufi - pembawa utusan itu.
Sebaik saja senja mendekap, kami dengar suara berkecapan dan benarlah suara itu bersinggungan dengan pemergian sang rama-rama dan bayang nasib burung sufi di ujung tanduk.
"Di manakah hendak kita cari pembunuh itu? Aku bimbang, akhirnya kita nanti dijadikan barang pajangan oleh pembunuh itu."
Diriku diam seperti sedang mengeja sunyi yang berkerak dalam hati. Mungkin bukan mustahil kami akan dijadikan barang pajangan seperti yang pernah dilihat di taman rama-rama, sedang yang lain bebas mengecap damai di taman, sebahagian yang lain keras dan kaku di dakap cermin menjadi pajangan di kamar pameran.
"Kita tidak mahu menjilat nasib masa lalu. Kubur kebenaran dan jenazah waktu menjadi saksi terkaparnya sang rama-rama dan burung sufi itu menyedut panggilan pencipta."
"Pembunuh itu bukan sebarangan pemburu. Sehingga langit tidak mampu tersenyum, apabila melihat pemburu itu keluar mencari pemangsa. Malah segala yang ada menjadi sunyi, sesunyinya. Lagu sunyi menggelepar membawa tanda pembunuh akan meraja-lela."
"Jika begitu sudahnya, apakah nasib kita?"
Akar kebimbangan sudah tumbuh dalam diriku. Mendulang masa depan dengan samar bayangan.
Babak: Memburu Aktor Utama Watak: Aku & Diriku Latar: Taman Kalijou Masa: Sebelum malam kelam
Di Taman Kalijou itu mereka bertembung dengan pemburu. Langkah menjadi mati secepatnya. Tumbuh di laman niat, ingin saling membunuh, tetapi sentuhan purba aku pantas memancung niat sang pemburu.
Aku: (Sambil bercekak pinggang) Kenapa tega kau bunuh rama-rama dan burung sufi itu? Tahukah kau, perbuatanmu menafikan hak kami merebut kemerdekaan kami?
Sang pemburu: Aku manusia yang patuh suruhan - pembunuh upahan. Tugas berat itu bukankah tanggungjawabku? Soal siapakah yang aku bunuh, bukankah kita semua pembunuh?
Berhadapan dengan aktor utama - pembunuh sang rama-rama dan burung sufi itu, sama seperti berhadapan dengan serigala bermata kelereng. Ah! Sehebat mana pemburu - bukankah ramai yang telah tewas di tangan mangsa buruannya?
"Lalu kau mahu bunuh aku? Kau mahu menjadi pembela sang rama-rama dan burung sufi itu atau akan aku bunuh semua burung-burung atau apa saja yang mengindahi taman ini?"
"Tak perlu kubunuh engkau kerana engkau akan mati juga sampai ketikanya. Pergilah engkau dengan gelar pemburumu itu. Setiap gerak dan langkah sumbangmu pasti mengundang cuak."
Sang pemburu dengan gerak egois memacu langkah ekapis.
Babak: Mengecap Sendu Watak: Aku & Watak tambahan Latar: Ruang perbukitan Masa: Senja hari
Ruang pentas dipenuhi dengan watak tambahan sedang mengeliling aktor utama yang terbaring mirip sedang menanti saat terpisahnya nyawa dari jasad. Raut wajah, sekalian yang ada terasa kelat dan seluruh isi alam yang bernyawa terpekur sunyi.
Sang pemburu @ aktor utama terbaring di tengah memejam mata. Darah masih mengalir dari susuk kiri. Entah anak panah siapa dan dari pemburu mana tiba-tiba saja menembusi paru-paru sang pemburu. Suaranya lirih bersimpul mati dengan desir nafas bagaikan kali terakhir bersuara.
Saat mengumpul sunyi - bau kembang kemboja terasa menusuk seolah-olah membarengi pemergian sang pemburu berhijrah ke alam batin. Tidak ada sesiapa pun tahu makna kubur kebenaran yang digali sebelum peristiwa berlaku.
Aku: (Bercakap kepada semua) Sekalian yang ada, saat ini kita berhadapan dengan musuh yang tewas di medan laga. Sebentar lagi, dia akan mengembara ke alam yang sudah sepatutnya dia diam. Sebagai insan, kita urusi dia sebagaimana manusia lain walaupun yang ditinggalkan kepada kita jasa tidak sekelumit mana melainkan serelung dendam.
Pengikut: Kita percaya dia bukan barang pajangan - harus dibiarkan. Biarlah langit akan senyum. Bulan kedinginan. Kebahagiaan yang kita idam cuma jadi barang langka. Lagu sunyi akan menggelepar. Kita usah menjilat masa lalu di mana harapan sudah di kerat hari.
"Ayuh...kita semua urusi dia sebaiknya saja memutuskan ikatan dengan alam..."
Sekalian yang ada sama menghampiri aktor utama, sama-sama mengusung jenazah sang pemburu keliling pentas. Lagu tembang jawa berselang seli mengiringi pemergian sebagaimana pemergian sang rama-rama dan burung sufi yang masih menatang lara.
Menjengur ke dalam kasyaf, belayarlah ke sanggar sukma
biarkan sepotong langit menjatuhkan kata dan
dakwat hitam untuk memutihkan makna yang
sepatutnya putih sebelum mengepak sayap bulan.
- "Melukis langit dengan kebencian ketika malam berbau dupa, seperti mengukur umur di benang pelangi.
Dalam kenikmatan-Mu, setiap isi saku nasib
bermakna menghirup dakwat rindu pencipta."
Sesudah diamnya aktor utama di liang semadi, perjalanan semakin selamat dari permainan nasib tatkala bunga-bunga sunyi mengembang dan menjamah anggur dari sepihan pecahan gelas dengan mata separuh terbuka.
Senyum selapis hari terus berguguran di segenap penjuru langit yang tidak lagi biru - menjadi berkeping-keping seperti sepotong roti.
Esok bermula pesta kunang - pesta merai kemenangan.
SIAPAKAH yang memancung leher sang rama-rama itu sehingga terpercik darah di basah embun? Siapakah yang mencabut pedang nafsu tatkala burung sufi pembawa utusan - tiba-tiba saja berdarah di sayap dan tersungkur ke bumi?
Siapa yang melenjitkan anak panah itu dari busurnya tatkala matahari tengah malam tiba-tiba saja mengecupkan sinar redanya?
Bukankah anak panah ke sasar itu yang memancung leher sang rama-rama dan mengoyakkan sayap burung sufi itu?
Sepotong langit tiba-tiba mengoyak warna bulan menjadi suram tatkala sang rama-rama semadi di liang abadi dan burung sufi - kepatahan sayap terkapar di laut luka.
Tanpa rama-rama - seikat mawar sunyi redup di kebun tidak lagi seindah bunga kalijou.
Babak: Membabat Citra
Watak: Aku & Rama-Rama
Latar: Sebuah taman
Masa: Hampir senja
Aku bukan penangkap rama-rama, terpaku - seekor burung sufi merintih sengsara menatap dunia semakin kelam. Aku usung burung sufi dari lantai bumi, ke sebuah wakaf di taman. Luka di sayap cuba aku ubati. Aku mengunyah kelat pucuk daun sengganen muda (daun sengganen boleh menghentikan aliran darah luka) kemudian kulekap pada sayap terluka.
Aku: (Simpati sambil mengelus sayap burung sufi) Apabila kita memikirkan - tidak ada orang lain yang hidup selain kita, inilah yang berlaku pada kau. Sesiapa pun menjadi maharaja; sebilah senjata mematikan hak bersuara; segenggam kuasa menjadi lembing perkasa. Kita bukan barang pajangan!
Burung sufi: (Masih mengerang kesakitan - tapi masih mampu bersuara) Apalah salahku? Kalau tidak ada kebebasan di bawah sepotong langit, di manakah lagi kebebasan hidup yang sering kita laung-jeritkan?
Aku: (Merenung sepasang mata iba burung sufi menunggu reaksi) Kulihat tadi seorang pemburu, aku pasti dialah penyebab sayap kau terluka. Aku tidak tahu, dia manusia durjana, dia mahu meruntuhkan niat suci - pembawa utusan.
Burung sufi: (Penuh kehairanan) Aku hanya membawa utusan, apakah dia tahu rahsia utusan itu? Benarlah, sebaik saja utusan itu terlerai dariku, aku yakin dia yang menyambar utusan itu.
Aku: Rahsia benarkah isi utusan itu? Sehingga sepotong nyawamu menjadi taruhan?
Wajahmu daun sunyi, sepasang senyap. Seorang narsis menyimpan makna di saku siang (wahai pemburu ular bungka. Usah menyimpan
bau ketakutan dari ujung rambut. Senja jatuh
kau berpesta kunang. Kau putuskan benang air mataku
dengan tali embun - ketika senja berbau dupa.)
Suara memar burung sufi seolah-olah kata-kata mengubah menjadi apa saja. Lagu suwung menekan di jiwanya.
"Saudara, ditakdirkan saudara bertemu pemburu itu, khabarkan kepadanya: Nikmat Tuhan - milik sejagat. Bukan milik dia, bukan milik mutlak saya, tapi setiap kita berhak memilikinya tanpa ada rasa curiga sesama sendiri."
"Insya-Allah. Alam ini dicipta untuk kehidupan dan manusia khalifah-Nya. Justeru setiap yang bernyawa atau tidak, berhak menikmatinya. Atau akan kubalas perbuatannya terhadap kau burung sufi!"
"Jangan! Bukan hak kita untuk membalasnya. Meskipun itu wajar, tapi bukankah ada yang lebih berkuasa dari mereka? Yang empunya kuasa pun, kadang-kadang masih memberi peluang mereka menjala sedar."
Babak: Melihat Bisu
Watak: Aku & Diriku
Latar: Makam Sang Rama-rama
Masa: Ketika semuanya menjadi sunyi
Petikan kecapi tembang sunda Cianjuran mengiringi pembawa obor mengelilingi makam sang rama-rama. Aku, berpakaian serba putih, dan pembawa obor berhenti tunduk simpati atas nasib sang rama-rama.
Aku: Sejak bertahun diam di taman berbunga Kalijou ini, saat kepiluan ini kita kehilangan sang rama-rama. Apakah kita terfikir akan indah taman ini tanpa rama-rama? Tanpa Seri Sang Puteri mengecap wangi bunga? Lihatlah bunga-bunga telah layu, kewangian menjadi bisu - kekejaman mula memburu, saat terharu kita pun dibelenggu sekawah ragu. Tidak adakah jaminan kebebasan untuk hidup tidak berseteru?
Diriku: (Bangun membelakangi makam sang rama-rama dan menatap taman seri puteri menghijau). Sulitnya menghitung kekuatan - hidup menjadi berkaca sepanjang hayat. Tidak bertata kerama, hidup menjadi kendalia. Kita kembali mendengar rasa takut.
Aku: (Menarik nafas panjang sambil mengecap bibir) Kau fikir siapakah aktor utama yang menyebabkan sang rama-rama dan burung sufi menerima nasib sedemikian lara? Tidak mungkinkah si pemburu bisu yang acapkali memekik - sering ke sasar di taman larangan ini?
Diriku: (Kembali menatap wajah Aku) Sudah tentu pemburu bisu itu. Dialah yang gemar bermain dengan rama-rama. Bukankah rama-rama citra keindahan dan jelita alam?
Aku: Burung sufi? Mengapa dia harus menjadi mangsa?
Diri: Bukankah burung sufi - kesetiaan, kejujuran menyampai khabar dan tidak pernah dusta apa yang disampaikan? Inilah yang menyebabkan pemburu terasa terbabat citra. Keperkasaannya nyata ada saingan.
Aku: (Menggelegak amarah) Kalau begitu, ayuh kita ajari dia! Muzik haleakala perlahan-lahan didengar, dibarengi rasa amarah dan geram. Embun syanida yang jatuh dari langit tidak mampu menjirus amarah.
"...aku melihat seikat wewangian dari cendana
menggoncangkan tunggul yang satu ketika
kau pernah luruhkan daun-daunnya. Kita berlari mencari
rahsia Tuhan sambil membakar nyala nafsu api
di daerah ningrat."
- lihatlah lewat pendar warna pelangi
akan aku sidai mentari di ampai bulan
dan mengubah apa saja menjadi kata-kata
rama-rama tumbuh di mata iba
dan burung sunyi - burung sufi menjadi sepasang senyap.
(hai pemburu, kita bersilat lidah - siapa sebenar
jaguh di pelana kesatria).
Aku dan diriku meninggalkan makam sang rama-rama dengan perasaan kaleleban. Kami harus mencari aktor utama yang menyebabkan pembunuhan rama-rama dan burung sufi - pembawa utusan itu.
Sebaik saja senja mendekap, kami dengar suara berkecapan dan benarlah suara itu bersinggungan dengan pemergian sang rama-rama dan bayang nasib burung sufi di ujung tanduk.
"Di manakah hendak kita cari pembunuh itu? Aku bimbang, akhirnya kita nanti dijadikan barang pajangan oleh pembunuh itu."
Diriku diam seperti sedang mengeja sunyi yang berkerak dalam hati. Mungkin bukan mustahil kami akan dijadikan barang pajangan seperti yang pernah dilihat di taman rama-rama, sedang yang lain bebas mengecap damai di taman, sebahagian yang lain keras dan kaku di dakap cermin menjadi pajangan di kamar pameran.
"Kita tidak mahu menjilat nasib masa lalu. Kubur kebenaran dan jenazah waktu menjadi saksi terkaparnya sang rama-rama dan burung sufi itu menyedut panggilan pencipta."
"Pembunuh itu bukan sebarangan pemburu. Sehingga langit tidak mampu tersenyum, apabila melihat pemburu itu keluar mencari pemangsa. Malah segala yang ada menjadi sunyi, sesunyinya. Lagu sunyi menggelepar membawa tanda pembunuh akan meraja-lela."
"Jika begitu sudahnya, apakah nasib kita?"
Akar kebimbangan sudah tumbuh dalam diriku. Mendulang masa depan dengan samar bayangan.
Babak: Memburu Aktor Utama Watak: Aku & Diriku Latar: Taman Kalijou Masa: Sebelum malam kelam
Di Taman Kalijou itu mereka bertembung dengan pemburu. Langkah menjadi mati secepatnya. Tumbuh di laman niat, ingin saling membunuh, tetapi sentuhan purba aku pantas memancung niat sang pemburu.
Aku: (Sambil bercekak pinggang) Kenapa tega kau bunuh rama-rama dan burung sufi itu? Tahukah kau, perbuatanmu menafikan hak kami merebut kemerdekaan kami?
Sang pemburu: Aku manusia yang patuh suruhan - pembunuh upahan. Tugas berat itu bukankah tanggungjawabku? Soal siapakah yang aku bunuh, bukankah kita semua pembunuh?
Berhadapan dengan aktor utama - pembunuh sang rama-rama dan burung sufi itu, sama seperti berhadapan dengan serigala bermata kelereng. Ah! Sehebat mana pemburu - bukankah ramai yang telah tewas di tangan mangsa buruannya?
"Lalu kau mahu bunuh aku? Kau mahu menjadi pembela sang rama-rama dan burung sufi itu atau akan aku bunuh semua burung-burung atau apa saja yang mengindahi taman ini?"
"Tak perlu kubunuh engkau kerana engkau akan mati juga sampai ketikanya. Pergilah engkau dengan gelar pemburumu itu. Setiap gerak dan langkah sumbangmu pasti mengundang cuak."
Sang pemburu dengan gerak egois memacu langkah ekapis.
Babak: Mengecap Sendu Watak: Aku & Watak tambahan Latar: Ruang perbukitan Masa: Senja hari
Ruang pentas dipenuhi dengan watak tambahan sedang mengeliling aktor utama yang terbaring mirip sedang menanti saat terpisahnya nyawa dari jasad. Raut wajah, sekalian yang ada terasa kelat dan seluruh isi alam yang bernyawa terpekur sunyi.
Sang pemburu @ aktor utama terbaring di tengah memejam mata. Darah masih mengalir dari susuk kiri. Entah anak panah siapa dan dari pemburu mana tiba-tiba saja menembusi paru-paru sang pemburu. Suaranya lirih bersimpul mati dengan desir nafas bagaikan kali terakhir bersuara.
Saat mengumpul sunyi - bau kembang kemboja terasa menusuk seolah-olah membarengi pemergian sang pemburu berhijrah ke alam batin. Tidak ada sesiapa pun tahu makna kubur kebenaran yang digali sebelum peristiwa berlaku.
Aku: (Bercakap kepada semua) Sekalian yang ada, saat ini kita berhadapan dengan musuh yang tewas di medan laga. Sebentar lagi, dia akan mengembara ke alam yang sudah sepatutnya dia diam. Sebagai insan, kita urusi dia sebagaimana manusia lain walaupun yang ditinggalkan kepada kita jasa tidak sekelumit mana melainkan serelung dendam.
Pengikut: Kita percaya dia bukan barang pajangan - harus dibiarkan. Biarlah langit akan senyum. Bulan kedinginan. Kebahagiaan yang kita idam cuma jadi barang langka. Lagu sunyi akan menggelepar. Kita usah menjilat masa lalu di mana harapan sudah di kerat hari.
"Ayuh...kita semua urusi dia sebaiknya saja memutuskan ikatan dengan alam..."
Sekalian yang ada sama menghampiri aktor utama, sama-sama mengusung jenazah sang pemburu keliling pentas. Lagu tembang jawa berselang seli mengiringi pemergian sebagaimana pemergian sang rama-rama dan burung sufi yang masih menatang lara.
Menjengur ke dalam kasyaf, belayarlah ke sanggar sukma
biarkan sepotong langit menjatuhkan kata dan
dakwat hitam untuk memutihkan makna yang
sepatutnya putih sebelum mengepak sayap bulan.
- "Melukis langit dengan kebencian ketika malam berbau dupa, seperti mengukur umur di benang pelangi.
Dalam kenikmatan-Mu, setiap isi saku nasib
bermakna menghirup dakwat rindu pencipta."
Sesudah diamnya aktor utama di liang semadi, perjalanan semakin selamat dari permainan nasib tatkala bunga-bunga sunyi mengembang dan menjamah anggur dari sepihan pecahan gelas dengan mata separuh terbuka.
Senyum selapis hari terus berguguran di segenap penjuru langit yang tidak lagi biru - menjadi berkeping-keping seperti sepotong roti.
Esok bermula pesta kunang - pesta merai kemenangan.